Octovianus Mote @Yermias
Melbourne, MAJALAH SELANGKAH – Publik Forum bertopik “
The Prospects for Peace in West Papua”
digelar di Ruang C902 Universitas Victoria 300 Flinders Street
Melbourne, Australia, Rabu, (7/8). Publik Forum difasilitasi oleh
Community Identity Displacement Research Network (
CIDRN), Victoria University.
Community Identity Displacement Research Network mengundang
Octovianus Mote.
Ia adalah salah satu dari lima orang negosiator yang ditunjuk oleh
rakyat Papua pada Konferensi Perdamaian di Tanah Papua (KPP) pada 5-7
Juli 2011 lalu. Mereka juga mengundang Septer Manufandu, aktivis Forum
Kerja Sama (Foker) LSM yang membawahi lebih dari 64 LSM di Papua. Septer
Manufandu berhalangan hadir.
Diketahui, Octovianus Mote ditetapkan oleh rakyat Papua sebagai salah
satu Juru Runding (Negosiator) bersama empat orang lainnya. Keempat
orang yang lain adalah
Rex Rumakiek (di Australia),
DR. John Otto Ondawame (di Australia),
Benny Wenda (di Inggris), dan
Leoni Tanggahma (di Belanda). Mereka ditetapkan berdasarkan 17 macam kriteria.
Kriteria dimaksud antara lain adalah harus mampu menggunakan bahasa Inggris standar (
speaking, listening, reading and writing),
memiliki kemampuan diplomasi dan bernegosiasi (bersertifikat), memahami
proses sejarah perjuangan Papua, juru runding bukan pemimpin, tapi
mendapat mandat dari pemimpin serta ada beberapa kriteria yang khusus
dan penting.
Pantauan media ini, Forum Publik di Universitas Victoria dibuka
secara resmi oleh Dr. Richard Chauvel pukul 18.00 Waktu Melborne,
Australia.
Dr. Richard,
Senior Lecturer, School of Social Sciences and Psychology, Universitas
Victoria di Melbourne. Dr. Ricard adalah peneliti asing yang menghadiri
KPP pada 5-7 Juli 2011 di Jayapura Papua.
University of Victoria @Ist
Tampak hadir
Prof. Dr. Damian
Kingsbury dari Deakin University Australia. Ia adalah penasiht ahli
yang memfasilitasi perundingan GAM dan RI. Hadir pula dalam forum itu,
Annie Feith. Ia adalah bekerja di Community Development, Universitas
Victoria, Melbourne. Ia adalah seorang peneliti. Annie membuat Tesis
seputar
“Perempuan dan Kekerasan di Papua Barat”. Beberapa karya Annie bisa diakses di website
insideindonesia.
Mahasiswa dari Universitas Victoria dan beberapa kampus di Melbourne
serta aktivis LSM ikut hadir. Beberapa dari 43 orang warga Papua
pencari suaka politik pada Januari 2006 ikut hadir, diantaranya, Papuana
Mote, Adolf Mora dan beberapa lainnya. Hadir juga, aktivis HAM Papua,
Paula Makabory.
Paula meninggalkan Papua dan pergi ke Australia dan menetap Melbourne
setelah ia merasa diamati dan kejar-kejar militer Indonesia di Papua.
Mengawali Forum Publik, Dr. Richard Chauvel memaparkan, lebih dari 40
tahun, rakyat Papua Barat di Indonesia bergumul dengan banyak masalah
kemanusiaan dan kebangsaan. Mereka mengalami masalah pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan, pelanggaran hak asasi manusia yang sangat
besar, “
human security”, stigmatisasi politik-sosial-kultural,
dan mereka dicap pemabuk, bodok, dan berkulit hitam. Juga, kebebasan
ekspresi politik mereka saat ini dikriminalisasi oleh aparat militer
Indonesia.
Ia menjelaskan, kondisi ini dialami rakyat Papua dalam waktu yang
sangat lama. Belum ada tanda untuk sesuatu jalan keluar yang baik,
positif, damai, dan tanpa kekerasan. Tuntutan keadilan dan pembebasan
dianggap tindakan separatis dan melawan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Maka, kata dia, Octovianus Mote adalah salah satu orang yang
diamanatkan oleh rakyat Papua sebagai negosiator untuk Dialog Damai
antara Rakyat Papua dan Indonesia di waktu mendatang. Ia datang dari
Amerika ke Australia untuk memberikan gambaran tentang upaya
penyelesaian konflik Papua dengan jalan dialog.
Octovianus Mote,
fellow di Yale University, Amerika Serikat
ini mengatakan, dialog Jakarta-Papua merupakan sarana terbaik untuk
mencari solusi tepat, penyelesaian konflik yang terjadi di Papua. Kita
semua bertekad untuk mencari solusi atas berbagai masalah politik,
keamananan, hukum dan HAM, ekonomi dan lingkungan hidup serta sosial
budaya di Tanah Papua melalui suatu dialog.
Ketika ditanya, Mote mengatakan, Dialog Papua-Indonesia diharapkan
dapat menjadi sebuah tawaran solusi yang paling baik, damai, adil dan
bermartabat. Ia sebagai media dalam upaya mencari solusi atas berbagai
permasalahan mendasar, termasuk konflik berkepanjangan yang senantiasa
menimbulkan aksi-aksi kekerasan di atasn Tanah Papua akhir-akhir ini.
“Dalam dialog kita tidak bicara ‘Papua Merdeka’ atau ‘Indonesia Harga
Mati’. Kita akan cari titik persamaan. Kita berangkat dari titik yang
sama. Kita sama-sama mau Papua damai. Kita harus cari cara yang
menang-menang. Catatan dari pada keinginan dua belah pihak itu akan
dibicarakan,”kata Mote.
Mote mengatakan keyakinannya pada pemerintah untuk menggelar dialog
damai antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. “Rakyat Papua masih
konsisten dengan amanat Kongres tahun 2001. Maka, kami tetap percaya
Indonesia akan menggelar dialog,”katanya.
Keyakinan Mote didasarkan atas beberapa alasan. Alasan pertama, kata
dia, Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat tahu dan sangat
menghargai dialog. Kedua, Idnonesia punya pengalaman menyelesaikan
konflik di Aceh dan Timor Leste. Ketiga, Indonesia juga terkenal di Asia
Tenggara dalam perannya mediasi dalam masalah konflik, seperti di
Bangsa Moro, Malaysia, Thailand. Keempat, Indonesia punya peresiden
sudah serius. Ia sudah tegaskan wakil presiden.
Selain itu, Mote mengatakan, selama ia menjadi Wartawan Harian
Kompas, ia melihat rakyat Indonesia adalah bangsa yang cinta damai. Dukungan datang juga dari
LSM-LSM
di Indonesia. Kata dia, secara internasional, masalah Papua tidak akan
berlalu. “Banyak negara sudah mendukung proses dialog dan mengkritik
pemerintah Australia yang dianggapnya tidak mengakui fakta,”kata dia
kepada wartawan.
“Saya datang dari Amerika ke Melbourne dan Sydney dan Canberra untuk
mencari dukungan dari berbagai pihak di luar negeri untuk memberikan
suatu penguatan kepada presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono
bahwa dialog itu amat penting. Ini bukan untuk rakyat Papua saja, tapi
untuk menunjukkan bangsa kita adalah negara yang demokratis,”kata Mote.
Ia menambahkan,
Sultan
di Yogyakarta telah mendukung Dialog. “Beliau mengatakan, Papua itu
sebuah wilayah zaman kolonial Belanda maka harus dialog,”kata Mote
menirukan kata-kata Sultan Yogyakarta.
Ketika ditanya soal rencana Jakarta untuk dialog dengan Pemerintah
Provinsi, DPRP, dan MRP, Mote mengatakan, tugas negara adalah bicara
dengan birokrasi di sana. “Apap pun yang Jakarta mau bicara dengan
birokrat itu silakan saja. Itu tugas negara untuk bicara dengan dia
punya aparat. Jika itu bicara dalam konteks urusan negara dalam konteks
membangun. Kalau masalah Papua, rakyat Papua masih konsisten untuk
bicara dialog,” kata dia.
“Kalau mereka (Jakarta) mau dialog dengan mereka punya orang-orang
yang silakan. Tapi, itu bukan dialog yang dimaksud oleh rakyat Papua
Barat. Yang masalah itu bukan pemerintah, LSM, dan Gereja tetapi yang
punya masalah adalah rakyat. Maka, rakyat bilang kami mau Indonesia
bicara dengan kami punya lima orang,” katanya tegas.
Ketika ditanya soal tanggapan pemerintah Amerika Serikat dan PBB
soal dialog ini, Mote mengatakan, evaluasi periodik PBB sudah
disebutkan bahwa Papua sudah menjadi agenda utama. “Indonesia mengatakan
mau pakai istilah sendiri soal masyarakat asli. Jika, Indonesia mau
diakui sebagai negara demokrasi di dunia, maka harus selesaikan PR,
masalah Papua.” Mengenai sikap Obama yang terpilih kembali, Mote
berharap Obama akan melakukan hal-hal yang sesuai dengan kata-katanya.
“Kami yakin, Obama akan lakukan sesuatu sesaui dengan kata-kata.
Kemudian, siapa pun menteri Luar Negeri USA dia selalu mendorong
menyelesaikan soal Papua melalui dialog.
Konflik terus berlanjut @Ist
“Kamu tidak bisa membunuh manusia seenaknya dengan alasan
kedaulatan,” kata Mote menirukan kata-kata Obama. Jadi, katanya, Orang
Papua dibunuh karena mebela tanah dan hak-hak adat mereka.
Tampak, diskusi menjadi lebih hangat dan menarik karena
banyak
pertanyaan dan pandangan disampaikan oleh para akademisi, mahasiswa dan
aktivias. Lebih banyak adalah informatif dan memberikan bobok pada
pemaparan yang disampaikan Octovianus Mote.
Prof. Damian mengatakan mendukung seluruh penjelasan. Tetapi, ia
mengatakan Demiliterisasi tidak mungkin saat ini. Karena dalam Peta
politik itu memerlukan untuk jaga kesatuan bangsa, perang, dan lainnya.
Jadi, ada faktor dalam negeri dan luar negeri. Menjawan pernyaan ini,
Mote mengatakan di Papua saat ini ada militer tetapi sekarang lebih
banyak Polisi. Jadi, kata dia, pilisitisasi.
(Yermias Degei/MS