Oleh
karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah
orang Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang
merasa nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan
mereka. Dalam periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan
bangsa Yahudi jauh lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi
secara umum, kondisi orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman
dahulu tetap menjadi sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana
sudah saya sebut, kebencian pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui
ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu
mendalam sekali karena dijustifikasi dengan ajaran agama. Sekarang
ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah “antek Yahudi”
adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja yang
dianggap “memusushi” Islam — sama kotornya dengan istilah “antek PKI”.
Dulu,
almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah media
kalangan Islam fundamentalis di Jakarta sebagai “antek Yahudi”. Majalah
itu menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik: nama
Cak Nur dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa
maksud karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap
dalam belitan “ular” Yahudi. Hingga saat ini, bahkan di Amerika
sekalipun, kita menyaksikan beredarnya sebuah teori konspirasi tentang
“rencana Yahudi” untuk menguasai dunia. Buku “Protocols of Zion”,
misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas rahasia Rusia beredar luas
di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke dunia Islam. Buku itu
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan basaha-bahasa lain itu
dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak kalangan sebagai
dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang rencana
bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia. Buku semacam ini
jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada bangsa Yahudi yang
jumlahnya sangat kecil itu. Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri
perusahaan mobil Ford yang terkenal itu menulis buku yang sangat
anti-Yahudi berjudul “The Jews”. Beberapa tahun yang lalu, saat usai
memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens memberikan saya buku itu
seraya berkata, “Bapak harus membaca buku ini”. Hingga sekarang,
sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di Amerika.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada “zaman kegelapan” yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.
Ini yang menjelaskan kenapa Israel bersikap tanpa kompromi pada Hamas sebab kelompok ini memiliki misi khusus untuk menghancurkan negara Israel. Di mata Israel, Hamas jelas semacam mimpi-buruk yang menghantui mereka. Bangsa Yahudi jelas tak mau jatuh ke masa silam yang buruk, ke zaman pogrom dan holocaust. Tetapi justru di sini letak kelemahan bangsa Yahudi di Israel dan di manapun saat ini. Karena terlalu dihantui oleh masa lampau yang pahit, reaksi mereka terhadap ancaman saat ini terlalu berlebihan. Yang menjadi korban adalah bangsa Palestina. Sebagai sebuah negara, Israel, negara Yahudi itu, saat ini sudah cukup kuat dan sangat makmur. Memang kita bisa paham kenapa Israel selalu merasa tidak was-was dan tidak aman selama ini, sebab ia dikepung oleh tetangga-tetangga yang sangat membenci keberadaannya.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada “zaman kegelapan” yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.
Ini yang menjelaskan kenapa Israel bersikap tanpa kompromi pada Hamas sebab kelompok ini memiliki misi khusus untuk menghancurkan negara Israel. Di mata Israel, Hamas jelas semacam mimpi-buruk yang menghantui mereka. Bangsa Yahudi jelas tak mau jatuh ke masa silam yang buruk, ke zaman pogrom dan holocaust. Tetapi justru di sini letak kelemahan bangsa Yahudi di Israel dan di manapun saat ini. Karena terlalu dihantui oleh masa lampau yang pahit, reaksi mereka terhadap ancaman saat ini terlalu berlebihan. Yang menjadi korban adalah bangsa Palestina. Sebagai sebuah negara, Israel, negara Yahudi itu, saat ini sudah cukup kuat dan sangat makmur. Memang kita bisa paham kenapa Israel selalu merasa tidak was-was dan tidak aman selama ini, sebab ia dikepung oleh tetangga-tetangga yang sangat membenci keberadaannya.
Kalau
di awal tulisan ini saya mengtakan bahwa konflik Palestina-Israel boleh
jadi tak akan pernah selesai, di ujung tulisan ini saya ingin
mengemukakan sebuah harapan. Salah satu harapan itu adalah jika pihak
bangsa Yahudi dan bangsa Arab, terutama Palestina, bisa mengatasi “masa
lalu” mereka masing-masing. Bangsa Yahudi harus melepaskan diri dari
“mentalitas diaspora” yang membuat mereka merasa terancam terus dan
selalu mencurigai tetangga-tetanggany a. Jika mentalitas ini tak bisa
diatasi, maka negara Israel akan terus mencari musuh dengan
tetangga-tetangga dekatnya seperti kita saksikan sekarang ini. Dari
pihak bangsa Arab, tantangan terbesar adalah mengatasi “rasa
superioritas” mereka sebagai bangsa yang pernah berjaya selama
berabad-abad di kawasan Arab dan sekitarnya, dan merasa bahwa bangsa
Yahudi tak punya hak untuk mendirikan negara di tanah Palestina, sebab
hal itu akan melukai rasa superioritas itu.
Dari
pihak umat Islam sendiri secara keseluruhan juga ada tantangan yang
sangat berat jika mereka benar-benar ingin ikut menyelesaikan masalah
Palestina-Israel ini. Selama ini, kita semua tahu, ajaran yang membenci
bangsa Yahudi diajarkan terus di sekolah-sekolah agama di seluruh dunia
Islam, sejak zaman klasik hingga sekarang. Waktu saya di pesantren dulu,
setiap guru saya menerangkan ayat-ayat dalam Quran yang membenci bangsa
Yahudi, maka mereka memahaminya dengan tidak kritis, sehingga secara
tak sengaja, mereka mengajarkan kebencian turun-temurun terhadap bangsa
Yahudi. Bagaimana mungkin dunia Islam mau menyelesaikan masalah
Palestina-Israel jika ajaran-ajaran yang membenci bangsa Yahudi ini
terus ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Menurut
saya, harus ada reinterpretasi ulang atas sejumlah ayat dan hadis yang
membenci bangsa Yahudi dan selama ini diajarkan di lembaga-lembaga
Islam. Jika tidak, maka selamanya akan terjadi kebencian dan permusuhan
antara umat Islam dan bangsa Yahudi. Saya tak percaya bahwa umat Islam
akan berhenti membenci bangsa Yahudi seandainya pun yang terakhir itu,
misalnya, dengan sukarela membubarkan negara Israel lalu pergi dari
tanah Palestina. Menurut saya, masalahnya lebih serius dari sekedar
masalah “tanah”. Yang bermasalah adalah doktrin dalam agama itu sendiri.
Apa
yang saya tulis ini jelas tak populer di kalangan Islam saat ini. Boleh
jadi, tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konspirasi Yahudi pula.
Silahkan saja. Dengan terus terang saya katakan, saya bukan “fan” atau
pendukung ringan, apalagi berat, negara Israel. Saya benci dan jengkel
pada tindakan dan kebijakan pemerintah Israel selama ini terhadap bangsa
Palestina. Tetapi kita juga harus jujur melakukan otokritik pada diri
kita sendiri. Ada sikap-sikap yang salah dan tak tepat juga di kalangan
umat Islam terhadap bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu.
Sikap-sikap yang berdasarkan pada doktrin agama itu harus dikritik jika
umat Islam memang benar-benar ingin menegakkan perdamaian di bumi
Palestina.[]
Wallahu a’lam bissawab
Ulil Abshar Abdalla