YAHUDI ISRAEL vs PALESTINA
Berikut
ini saya tampilkan kiriman e-mail dari koordinator JIL yg sekarang
sedang menyelesaikan studi Ph.D di negerinya Barack Husein Obama.
Sebagaimana ciri khas dari tulisannya, tulisan inipun juga menggelitik
dan agak nyerempet-nyerempet terlebih bagi yg temperamental dan alergi
dg perbedaan. Selamat menikmati, semoga semakin tercerahkan, bahwa
perbedaan itu betul-betul nikmat, amin.
Saya
kadang-kadang berpikir, jangan-jangan konflik Palestina-Israel tidak
akan selesai “ila yaum al-qiyamah”, sampai hari kiamat. Satu-satunya
harapan adalah jika kedua belah pihak lelah dan bosan perang, lalu
dengan “sadar” meletakkan senjata dan saling jabat tangan. Tetapi
titik-lelah itu belum kelihatan hingga sekarang. Kita harus siap untuk
melihat jatuhnya korban terus-menerus di waktu-waktu mendatang. Sudah
berkali-kali usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dilakukan oleh
komunitas internasional, tetapi gagal terus. Masing-masing pihak
mempunyai versinya masing-masing kenapa usaha diplomatik itu gagal.
Pihak Israel sudah tentu menyalahkan pihak Palestina, sejak zaman PLO di
bawah Arafat hingga sekarang ini di mana Hamas muncul ke permukaan
menggantikan popularitas PLO. Pihak Palestina dan negara-negara Arab,
kemudian diamini juga oleh dunia Islam, tentu menyalahkan pihak Israel
sebagai biang kegagalan usaha diplomatik itu.
Saat
perang atas terorisme dikumandangkan oleh Presiden Bush dari
Washington, semua negara makin punya alasan untuk menjadikan momen ini
untuk meningkatkan aksi-aksi militer mereka, tentu dengan alasan untuk
memerangi terorisme. Rusia dan Cina telah melakukan itu. Kini Israel,
sebelum Bush lengser beberasa saat lagi, seperti “kejar tayang” untuk
menyelesaikan “masalah Hamas” dengan melakukan agresi besar-besaran.
Seperti sudah bisa kita duga, aksi Israel ini didukung “tanpa syarat”
oleh Presiden Bush. Mari kita lihat konflik ini dalam perspektif yang
lebih luas sehingga kita bisa lebih “tenang” memahaminya. Tak ada dalam
sejarah manusia di mana sebuah bangsa dibenci secara sistematis, menjadi
sasaran prasangka buruk, stereo-type, rasialisme, dan persekusi seperti
dialami oleh bangsa Yahudi. Itulah sebabnya di Eropa di mana bangsa
Yahudi mengalami banyak persekusi dan diskriminasi selama berabad-abad
dikenal istilah “Jewish question”, masalah Yahudi.
Debat
menganai “Jewish question” ini berlangsung lama sekali di Eropa dan
baru tuntas pada pertengahan abad ke-20. Secara kuantitas, bangsa Yahudi
tidaklah besar jumlahnya. Total jumlah orang Yahudi di seluruh dunia
saat ini mungkin tak lebih dari 15 juta orang. Sebagian besar mereka
tinggal di Israel dan Amerika. Selebihnya mereka terserak-serak sebagai
koloni kecil-kecil di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, Amerika
Latin, Asia, termasuk di negeri-negeri Arab sendiri. Tetapi bangsa yang
kecil jumlahnya ini menjadi sasaran prasangka buruk dan kebencian oleh
banyak pihak sejak zaman dahulu. Pertama-tama yang layak kita sebut
adalah pihak Kristen. Selama beradad-abad, bangsa Yahudi menjadi sasaran
diskriminasi dari pihak Kristen. Konflik antara Kristen dan Yahudi
sudah berlangsung sejak awal, bahkan sejak kelahiran agama Kristen itu
sendiri. Pertikaian antara orang-orang Yahudi dan Kristen bukan sekedar
pertikaian politik biasa, tetapi juga pertikaian yang dijustifikasi
secara teologis melalui ajaran agama. Lalu datang Islam. Sejak awal,
pertikaian antara Islam dan Yahudi sama sekali tak terhindarkan.
Pada
saat Nabi Muhammad datang di Madinah, ada sejumlah koloni orang-orang
Yahudi di sekitar Madinah. Karena konflik dengan Nabi dan umat Islam
saat itu, orang-orang Yahudi ditumpas habis dan sebagian lagi diusir
secara total dari kawasan itu. Pada saat Islam berjaya sebagai kekuatan
politik di kawasan Arab pada rentang antara abad 8 hingga abad 15
Masehi, bangsa Yahudi sebetulnya menikmati suasana yang lebih bersahabat
di dunia Islam ketimbang di dunia Kristen. Tetapi, kebencian pada
Yahudi sebagai sebuah agama tetap bertahan secara endemik dalam Islam.
Bangsa Yahudi digambarkan sangat negatif dalam beberapa ayat di Quran,
dan kemudian disokong pula dengan sejumlah hadis. Contoh kecil saja:
sebuah hadis terkenal menyebutkan bahwa pada akhir zaman nanti Nabi Isa
(atau Yesus) akan turun kembali ke bumi (persis dengan keyakinan dalam
Kristen). Menurut hadis itu, tugas Nabi Isa pada saat itu, antara lain,
adalah untuk menghancurkan salib dan membunuhi orang-orang Yahudi.
Sebuah hadis lain menyebutkan bahwa dua frasa di ujung Surah al-Fatihah
(bab pembuka dalam Quran) merujuk kepada orang Kristen dan Yahudi. Dua
frasa itu adalah: “al-maghdub ‘alaihim” (orang-orang yang dibenci oleh
Tuhan) dan “al-dallin” (orang-orang yang sesat).
Orang
yang dibenci Tuhan maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh hadis itu,
adalah orang Yahudi, sementara orang-orang yang sesat adalah orang-orang
Kristen. Karena pengaruh Kitab Suci sangat mendalam pada umatnya, kita
bisa membayangkan bagaimana dua frasa yang diulang-ulang setiap salat
oleh seluruh umat Islam ini memiliki pengaruh dalam membentuk prasangka
buruk terhadap bangsa Yahudi. Baik agama Kristen atau Islam mengandung
unsur-unsur ajaran yang bisa membiakkan kebencian pada bangsa Yahudi.
Ini bukan kebencian biasa, tetapi kebencian yang dijustifikasi oleh
firman dan ajaran Tuhan sehingga pengaruhnya sangat mendalami. Tak heran
sekali jika kebencian pada agama dan bangsa Yahudi bertahan selama
berabad-abad. Kalau kita baca sejarah, tidak ada bangsa yang mengalami
korban sebagai sasaran kebencian selama dan seserius seperti dialami
oleh bangsa Yahudi. Yang mengherankan, jumlah mereka sangat kecil
sekali, tetapi kebencian pada mereka sungguh tak sebanding dengan jumlah
itu. Atau justru karena mereka kecil lah dengan mudah menjadi “kambing
hitam” di mana-mana. Persis seperti dialami oleh kaum minoritas di
manapun yang cenderung dijadikan sasaran demonisasi dan
pengambing-hitaman.
Kalau
kita baca sejarah Amerika, hingga pertengahan abad 20, diskriminasi dan
perlakuan yang tak menyenangkan dialami oleh bangsa Yahudi secara
konsisten. Seorang profesor Yahudi yang pernah belajar di Universitas
Harvard dan sekarang sudah pensiun pernah bercerita pada saya bahwa
hingga tahun 60an, orang-orang Yahudi mendapat kesulitan untuk
memperoleh posisi sebagai profesor di Universitas Harvard. Menurut dia,
seorang ekonom Yahudi yang sangat kondang dan pernah memenangkan hadiah
Nobel, Paul Samuelson, ditolak lamarannya sebagai profesor di
Universitas Harvard pada tahun 40an. Menurutnya, Samuelson ditolak
terutama karena keyahudiannya. Akhirnya, MIT (Massachusetts Institute of
Technology) menampung dia. Saat di MIT itulah Samuelson mendapatkan
hadiah Nobel. Saya kira, Universitas Harvard malu dengan kejadian ini.
Di dunia Islam, jelas orang-orang Yahudi saat ini merasa kurang nyaman.
Oleh
karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah
orang Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang
merasa nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan
mereka. Dalam periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan
bangsa Yahudi jauh lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi
secara umum, kondisi orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman
dahulu tetap menjadi sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana
sudah saya sebut, kebencian pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui
ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu
mendalam sekali karena dijustifikasi dengan ajaran agama. Sekarang
ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah “antek Yahudi”
adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja yang
dianggap “memusushi” Islam — sama kotornya dengan istilah “antek PKI”.
Dulu,
almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah media
kalangan Islam fundamentalis di Jakarta sebagai “antek Yahudi”. Majalah
itu menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik: nama
Cak Nur dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa
maksud karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap
dalam belitan “ular” Yahudi. Hingga saat ini, bahkan di Amerika
sekalipun, kita menyaksikan beredarnya sebuah teori konspirasi tentang
“rencana Yahudi” untuk menguasai dunia. Buku “Protocols of Zion”,
misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas rahasia Rusia beredar luas
di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke dunia Islam. Buku itu
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan basaha-bahasa lain itu
dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak kalangan sebagai
dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang rencana
bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia. Buku semacam ini
jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada bangsa Yahudi yang
jumlahnya sangat kecil itu. Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri
perusahaan mobil Ford yang terkenal itu menulis buku yang sangat
anti-Yahudi berjudul “The Jews”. Beberapa tahun yang lalu, saat usai
memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens memberikan saya buku itu
seraya berkata, “Bapak harus membaca buku ini”. Hingga sekarang,
sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di Amerika.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada “zaman kegelapan” yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada “zaman kegelapan” yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar