30 November 2012

PBB Kutuk Kekerasan Agama di Indonesia

Kepala Hak Asasi Manusia PBB mengutuk kekerasan dan diskriminasi atas kelompok Kristen dan minoritas muslim Syiah di Indonesia, negara bependuduk muslim terbesar dunia.
Kepala Komisi Tinggi HAM PBB Navi Pillay mengaku telah bertemu dengan para pemimpin Kristen, dan juga sekte minoritas muslim Syiah dan Ahmadiyah, yang menjadi target kelompok garis keras beberapa tahun terakhir.
“Saya sedih mendengar jumlah serangan kekerasan, pengusiran paksa, dan penolakan pemberian KTP dan berbagai bentuk diskriminasi dan pelecehan terhadap mereka,“ kata Navi Pillay kepada para wartawan di ibukota Jakarta.
Dia memperingatkan bahwa Indonesia beresiko kehilangan keragaman budaya dan toleransi “jika tindakan keras tidak diambil untuk mengatasi meningkatnya angka kekerasan dan kebencian terhadap kelompok minoritas serta pandangan yang sempit dan interperetasi ekstrim atas Islam“.
Cabut Blasphemy
Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, namun kelompok pembela hak asasi manusia mengatakan bahwa kekerasan atas kelompok minoritas telah meluas sejak tahun 2008 di negara berpenduduk 240 juta, yang hampir 90 persennya adalah pemeluk Islam yang mayoritas adalah Sunni.
Pillay merekomendasikan Indonesia agar mencabut hukum tentang penodaan agama atau blasphemy tahun 1965, yang telah membuat seorang ulama Syiah dipenjara karena mengatakan bahwa Al Qur'an bukanlah sebuah kitab yang otentik dan ibadah haji bukan sebuah kewajiban bagi muslim.
Selain itu, Kepala Komisi Tinggi HAM PBB itu juga menyerukan pencabutan Surat Keputusan Menteri tahun 2008 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat karena percaya ada Nabi setelah Nabi Muhamad dan karenanya melarang kelompok Ahmadiyah melakukan dakwah.


Intoleransi Meningkat
Pada bulan Mei, massa yang terdiri dari 600 orang kelompok Islam garis keras melemparkan kantung plastik berisi air kencing ke arah jemaat gereja yang sedang melakukan misa memperingati kenaikan Isa al Masih.
Bulan Agustus 2011, sebuah pengadilan di Indonesia hanya menjatuhkan hukuman penjara beberapa bulan bagi 12 anggota kelompok garis keras yang menganiaya sampai tewas tiga pengikut Ahmadiyah. Saat peristiwa terjadi, polisi yang ada di lokasi kejadian hanya menonton dan membiarkan terjadinya pembantaian.
Kelompok muslim Syiah telah menjadi target bersama bagi para kelompok garis keras. Massa kelompok Sunni yang terdiri dari sekitar 500 orang yang membawa parang dan clurit menyerang komunitas Syiah pada bulan Agustus, dan membunuh dua orang sambil membakar puluhan rumah di Jawa Timur.
Pillay juga mengungkapkan keprihatinannya atas pelaksanaan Hukum Syariat Islam di Aceh, di mana hukum cambuk dan rajam disahkan sejak tahun 2009, sambil mengatakan bahwa penegakan hukum itu dilakukan “sewenang-wenang” dan “diskriminatif” terutama terhadap perempuan, dan telah menciptakan “suasana intimidasi dan ketakutan”.
AB/ HP (afp

18 November 2012

Octovianus Mote @Yermias

Melbourne, MAJALAH  SELANGKAH – Publik Forum bertopik “The Prospects for Peace in West Papua” digelar di Ruang C902  Universitas Victoria 300 Flinders Street Melbourne, Australia, Rabu, (7/8). Publik Forum difasilitasi oleh Community Identity Displacement Research Network (CIDRN), Victoria University.
Community Identity Displacement Research Network mengundang Octovianus Mote. Ia adalah salah satu dari  lima orang negosiator yang ditunjuk oleh rakyat Papua pada Konferensi Perdamaian di Tanah Papua (KPP) pada 5-7 Juli 2011 lalu. Mereka juga mengundang Septer Manufandu, aktivis Forum Kerja Sama (Foker) LSM yang membawahi lebih dari 64 LSM di Papua. Septer Manufandu berhalangan hadir.
Diketahui, Octovianus Mote ditetapkan oleh rakyat Papua sebagai salah satu Juru Runding (Negosiator)  bersama empat orang lainnya. Keempat orang yang lain adalah  Rex Rumakiek (di Australia), DR. John Otto Ondawame (di Australia), Benny Wenda (di Inggris), dan Leoni Tanggahma (di Belanda). Mereka ditetapkan berdasarkan 17 macam kriteria.
Kriteria dimaksud antara lain adalah harus mampu menggunakan bahasa Inggris standar (speaking, listening, reading and writing), memiliki kemampuan diplomasi dan bernegosiasi (bersertifikat), memahami proses  sejarah perjuangan Papua,  juru runding bukan pemimpin, tapi mendapat mandat dari pemimpin serta ada beberapa kriteria yang khusus dan penting.
Pantauan media ini, Forum Publik di Universitas Victoria dibuka secara resmi oleh Dr. Richard Chauvel pukul 18.00 Waktu Melborne,  Australia. Dr. Richard, Senior Lecturer, School of Social Sciences and Psychology, Universitas Victoria di Melbourne. Dr. Ricard adalah peneliti asing  yang menghadiri KPP pada 5-7 Juli 2011 di Jayapura Papua.

University of Victoria @Ist

Tampak hadir Prof. Dr. Damian Kingsbury dari Deakin University Australia. Ia adalah penasiht ahli yang memfasilitasi perundingan GAM dan RI. Hadir pula dalam forum itu, Annie Feith. Ia adalah bekerja di Community Development, Universitas Victoria, Melbourne. Ia adalah seorang peneliti. Annie membuat Tesis seputar “Perempuan dan Kekerasan di Papua Barat”. Beberapa karya Annie bisa diakses di website insideindonesia.
Mahasiswa dari Universitas Victoria dan beberapa kampus di Melbourne serta aktivis LSM  ikut hadir. Beberapa dari 43 orang warga Papua pencari suaka politik pada Januari 2006 ikut hadir, diantaranya, Papuana  Mote, Adolf Mora dan beberapa lainnya. Hadir juga, aktivis HAM Papua, Paula Makabory. Paula meninggalkan Papua dan pergi ke Australia dan menetap Melbourne setelah ia merasa diamati dan kejar-kejar militer Indonesia di Papua.
Mengawali Forum Publik, Dr. Richard Chauvel memaparkan, lebih dari 40 tahun, rakyat Papua Barat di Indonesia bergumul dengan banyak masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Mereka mengalami masalah pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, pelanggaran hak asasi manusia yang sangat besar, “human security”, stigmatisasi politik-sosial-kultural,  dan mereka dicap pemabuk, bodok, dan berkulit hitam. Juga, kebebasan ekspresi politik mereka saat ini dikriminalisasi oleh aparat militer Indonesia.
Ia menjelaskan, kondisi ini dialami rakyat Papua dalam waktu yang sangat lama. Belum ada tanda untuk sesuatu jalan keluar yang baik, positif, damai, dan tanpa kekerasan. Tuntutan keadilan dan pembebasan dianggap tindakan separatis dan melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, kata dia, Octovianus Mote adalah salah satu orang yang diamanatkan oleh rakyat Papua sebagai negosiator untuk Dialog Damai antara Rakyat Papua dan Indonesia di waktu mendatang. Ia datang dari Amerika ke Australia untuk memberikan gambaran tentang upaya penyelesaian konflik Papua dengan jalan dialog.
Octovianus Mote, fellow di Yale University, Amerika Serikat ini mengatakan, dialog Jakarta-Papua merupakan sarana terbaik untuk mencari solusi tepat, penyelesaian konflik yang terjadi di Papua. Kita semua bertekad untuk mencari solusi atas berbagai masalah politik, keamananan, hukum dan HAM, ekonomi dan lingkungan hidup serta sosial budaya di Tanah Papua melalui suatu dialog.
Ketika ditanya, Mote mengatakan, Dialog Papua-Indonesia diharapkan dapat menjadi sebuah tawaran solusi yang paling baik, damai, adil dan bermartabat. Ia sebagai media dalam upaya mencari solusi atas berbagai permasalahan mendasar, termasuk konflik berkepanjangan yang senantiasa menimbulkan aksi-aksi kekerasan di atasn Tanah Papua akhir-akhir ini.
“Dalam dialog kita tidak bicara ‘Papua Merdeka’ atau ‘Indonesia Harga Mati’. Kita akan cari titik persamaan. Kita berangkat dari titik yang sama. Kita sama-sama mau Papua damai. Kita harus cari cara yang menang-menang. Catatan dari pada keinginan dua belah pihak itu akan dibicarakan,”kata Mote.
Mote mengatakan keyakinannya pada pemerintah untuk menggelar dialog damai antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. “Rakyat Papua masih konsisten dengan amanat Kongres tahun 2001. Maka, kami tetap percaya Indonesia akan menggelar dialog,”katanya.
Keyakinan Mote didasarkan atas beberapa alasan. Alasan pertama, kata dia, Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat tahu dan sangat menghargai dialog. Kedua, Idnonesia punya pengalaman menyelesaikan konflik di Aceh dan Timor Leste. Ketiga, Indonesia juga terkenal di Asia Tenggara dalam perannya mediasi dalam masalah konflik, seperti di Bangsa Moro, Malaysia, Thailand. Keempat, Indonesia punya peresiden sudah serius. Ia sudah tegaskan wakil presiden.
Selain itu, Mote mengatakan, selama ia menjadi Wartawan Harian Kompas, ia melihat rakyat Indonesia adalah bangsa yang cinta damai. Dukungan datang juga dari LSM-LSM di Indonesia. Kata dia, secara  internasional, masalah Papua tidak akan berlalu. “Banyak negara sudah mendukung proses dialog  dan mengkritik pemerintah Australia yang dianggapnya tidak mengakui  fakta,”kata dia kepada wartawan.
“Saya datang dari Amerika ke Melbourne dan Sydney dan Canberra untuk mencari dukungan dari berbagai pihak di luar negeri untuk memberikan suatu penguatan kepada presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bahwa dialog itu amat penting. Ini bukan untuk rakyat Papua saja, tapi untuk menunjukkan bangsa kita adalah negara yang demokratis,”kata Mote.
Ia menambahkan, Sultan di Yogyakarta telah mendukung Dialog. “Beliau mengatakan, Papua itu sebuah wilayah zaman kolonial Belanda maka harus dialog,”kata Mote menirukan kata-kata Sultan Yogyakarta.
Ketika ditanya soal rencana Jakarta untuk dialog dengan Pemerintah Provinsi, DPRP, dan MRP, Mote mengatakan, tugas negara adalah bicara dengan birokrasi di sana. “Apap pun yang Jakarta mau bicara dengan birokrat itu silakan saja. Itu tugas negara untuk bicara dengan dia punya aparat. Jika itu bicara dalam konteks urusan negara dalam konteks membangun. Kalau masalah Papua, rakyat Papua masih konsisten untuk bicara dialog,” kata dia.
“Kalau mereka (Jakarta) mau dialog dengan mereka punya orang-orang yang silakan. Tapi, itu bukan dialog  yang dimaksud oleh rakyat Papua Barat. Yang masalah itu bukan pemerintah, LSM, dan Gereja tetapi yang punya masalah adalah rakyat. Maka, rakyat bilang kami mau Indonesia bicara dengan kami punya lima orang,” katanya tegas.
Ketika ditanya soal tanggapan pemerintah Amerika Serikat  dan PBB soal dialog ini, Mote mengatakan, evaluasi periodik PBB  sudah disebutkan bahwa Papua sudah menjadi agenda utama. “Indonesia mengatakan mau pakai istilah sendiri soal masyarakat asli. Jika, Indonesia mau diakui sebagai negara demokrasi di dunia, maka harus selesaikan PR, masalah Papua.” Mengenai sikap Obama yang terpilih kembali, Mote berharap Obama akan melakukan hal-hal yang sesuai dengan kata-katanya. “Kami yakin, Obama akan lakukan sesuatu sesaui dengan kata-kata. Kemudian, siapa pun menteri Luar Negeri USA dia selalu mendorong menyelesaikan soal Papua melalui dialog.

Konflik terus berlanjut @Ist
“Kamu tidak bisa membunuh manusia seenaknya dengan alasan kedaulatan,” kata Mote menirukan kata-kata Obama. Jadi, katanya, Orang Papua  dibunuh karena mebela tanah dan hak-hak adat mereka.

Tampak, diskusi menjadi lebih hangat dan menarik karena banyak pertanyaan dan pandangan disampaikan oleh para akademisi, mahasiswa dan aktivias. Lebih banyak adalah informatif dan memberikan bobok pada pemaparan yang disampaikan Octovianus Mote.
Prof. Damian mengatakan mendukung seluruh penjelasan. Tetapi, ia mengatakan Demiliterisasi tidak mungkin saat ini. Karena dalam Peta politik itu memerlukan untuk jaga kesatuan bangsa, perang, dan lainnya. Jadi, ada faktor dalam negeri dan luar negeri. Menjawan pernyaan ini, Mote mengatakan di Papua saat ini ada militer tetapi sekarang lebih banyak Polisi. Jadi, kata dia, pilisitisasi. (Yermias Degei/MS

AS Pertanyakan Mekanisme Peliputan Pers di Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on 11/6/12 | 5:00 PM

Jayapura, Seruu.com/news - Atase pers dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, Troy E. Pederson, mempertanyakan sulitnya akses bagi wartawan internasional, termasuk dari Amerika, untuk meliput di wilayah Papua. Pertanyaan itu dilontarkan Troy dalam pertemuan dengan Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura, Selasa (06/11/2012).
"Dengan adanya pertemuan ini, kami dapat mengetahui sedikit kondisi dunia jurnalistik di Papua, sehingga ke depan jadi pembelajaran juga bagi kami," kata Troy di Dante Cafe, Kota Jayapura, Papua.

Selain itu, kata Troy, pihaknya juga tak memiliki banyak data mengenai kondisi jurnalis di Papua ataupun akses informasi yang bisa diperoleh para jurnalis yang meliput di Papua. "Apalagi informasi ini baru dilihat di Jayapura saja, belum daerah lain di Papua. Sehingga masih butuh banyak pengetahuan dan pemahaman," kata Troy yang saat itu didampingi Senior Information Specialist dari Kedubes Amerika Serikat, Indar Juniardi.

Menurut Troy, ada banyak hal yang menarik dari Papua, tapi belum banyak diketahui, seperti isu-isu lokal.
Troy juga mengakui masih ada kendala terkait dengan persoalan independensi dan skill jurnalis dalam melakukan peliputan investigasi di Papua, termasuk kendala pendanaan dalam peliputan mendalam di wilayah pedalaman Papua. "Tapi hal ini tidak hanya terjadi di Papua. Di Jakarta sempat kami temui ada hal seperti itu," katanya. [tmp]

Tuntut Keadilan, Suciwati Kunjungi Makam Theys di Papua

Sunday, 11-11-2012 18:37:54 Oleh MAJALAH SELANGKAH Telah Dibaca 161 kali
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH – Suciwati, isteri almarhum Munir Said Thalib, mengunjungi makam almarhum Theys Hiyo Eluay di Sentani serta bertemu keluarga Aristoteles Masoka, supir Theys yang hilang usai melaporkan penculikan Theys, (10/11).

Suciwati (Kanan) saat Jumpa Pers di Jayapura Papua @MS032
“Apa yang dialami Theys Hiyo Eluays dan Aristoteles Masoka sama dengan apa yang dialami suami saya, Munir. Mereka dibunuh oleh orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Saya ingin kita semua berjuang bersama merebut keadilan. Jangan biarkan pelaku bebas berkeliaran! Rezim ini tidak berubah karena penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap pejuang HAM terus terjadi di setiap lini. Sampai hari ini para penjahatnya masih bebas, bahkan dipromosikan, ” kata Suciwati hari ini, Minggu (11/11) di hadapan wartawan di Kantor KontraS Padang Bulan, Waena, Jayapura.
“Kita harus terus melawan dan katakan meski para pelaku itu membunuh Munir dan Theys, ini tidak akan menghentikan kebenaran dan perjuangan yang telah dilakukan oleh Theys dan Munir. Kita harus tetap menolak kekerasan di bumi Indonesia,” katanya.
Suciwati, perempuan yang pernah menjadi aktivis buruh inimenyatakan, suaminya diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia, Jakarta-Amsterdam pada 7 September 2004. Tujuan kedatangannya ke Jayapura untuk pertama kalinya ini adalah untuk memperingati hari pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Kepala suku sekaligus Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) yang diculik dan dibunuh seusai memenuhi undangan perayaan hari pahlawan di Markas Tribuana Kopassus, Jayapura 10 November 2001.
Saat hendak pulang menuju ke rumah keluarga Eluay di Sentani, Theys dibunuh di dalam mobilnya sendiri. Mulanya, komandan Kopassus di Jayapura, Letkol Sri Hartomo membantah terlibat dalam pembunuhan Theys namun tekanan nasional dan internasional membuat militer Indonesia terpaksa mengakui keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan Theys.
“Kedatangannya ke Papua bukan untuk menyatakan solidaritas atas korban-korban pelanggaran HAM di Papua saja, namun juga memohon bantuan Masyarakat Papua agar Suciwati dapat memperoleh keadilan dalam kasus pembunuhan Cak Munir,” demikian kata Olga Hamadi, Koordinator KontraS Papua yang mendampingi Suciwati saat konferensi pers berlangsung.
Pada 21-23 April 2003, Pengadilan Militer Surabaya memvonis Letkol Tri Hartomo dan enam Anggota Koppasus lain yang bersalah secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian Theys. Mereka dihukum 2-3.5 tahun penjara serta sebagian dipecat dari militer. Letkol Tri Hartomo, Komandan Kopassus Jayapura (pemecatan, hukuman 3.5 tahun penjara); Mayor Doni Hutabarat (2.5 tahun penjara, mengundang Theys dalam acara Kopassus, ikut memata-matai Theys); Kapten Rionaldo (3 tahun, melakukan penganiayaan terhadap Theys, memata-matai Theys); Letnan Satu Agus Supriyanto (3 tahun, penganiayaan, tidak hentikan Prajurit A. Zulfahmi saat mencekik Theys); Sersan Satu Asrial (3 tahun, penganiayaan); Sersan Satu Laurensius Li (2 tahun, tidak mencegah rekan-rekannya mencekik dan menganiaya Theys); Prajurit Kepala, A. Zulfahmi (3 tahun, pemecatan, mencekik Theys dalam mobil Toyota Kijang)
Sebulan sebelum pembunuhan, Tri Hartomo memerintahkan bawahannya ‘mengamankan’ Theys. Di pengadilan, Hartomo mengaku bahwa ia memerintahkan anak buahnya untuk mencegah Theys merayakan kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2001. Mayor Doni Hutabarat adalah pemimpin tim. Mereka menghentikan mobil Theys di Daerah Skyline, sekitar 20 menit dari Hamadi. Menurut kesaksian di Surabaya, Theys berteriak yang membuat A. Zulfahmi membungkam mulut Theys dan ‘tak sengaja’ membunuhnya.
Sedangkan Aristoteles Masoka sempat menelepon istri Theys Eluay, Yaneke Ohee, dimana Masoka dikutip menelepon dalam keadaan gugup dan tergesa-gesa, sebelum telepon mendadak mati, “mama, bapa diculik, saya akan pergi cek, karena mereka yang culik …”
Munir dari KontraS semasa hidupnya mengatakan, pembunuhan Theys ada kemungkinan terkait dengan sebuah dokumen bocor dari rapat di Departemen Dalam Negeri pada 8 Juni 2000 dimana dibicarakan soal merdeka. Anggota Kopassus juga menghadiri rapat tersebut sebagai peserta.
Sekarang, ternyata ketujuh orang tersebut tidak sepenuhnya menjalani hukuman yang ditimpakan pengadilan Surabaya. Ada kemungkinan mereka mendapat keringanan ketika banding di Pengadilan Militer Jakarta. Tri Hartomo baru dipindahkan dari Kopassus ketika Amerika Serikat hendak menjalin kerja sama militer dengan Kopassus pada Juli 2010. Kini Hartomo adalah Komandan Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat di Bandung. Doni Hutabarat kini berpangkat Letnan Kolonel dan bertugas sebagai Komandan Dandim di Medan.
Kopassus tetap melakukan kegiatan mata-mata terhadap Masyarakat Sipil Papua, termasuk membayar wartawan, guna mengawasi tokoh-tokoh sipil. Pada Agustus 2011, ratusan lembar dokumen Kopassus bocor, termasuk nama-nama wartawan, pegawai negeri, supir rental, tukang ojek dan lain-lain yang bekerja untuk Kopassus. (Aprila Wayar/MS)


Populasi Orang Asli Papua menurun

Populasi Orang Asli Papua Menurun, Poligami Dianggap Solusi

Sunday, 09-09-2012 00:33:02 Oleh MAJALAH SELANGKAH Telah Dibaca 233 kali
Bandung, MAJALAH SELANGKAH — Ciska Abugau, anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP) seperti dilansir Cermin Papua menuturkan, sejak Papua dianeksasikan sebagai bagian dari Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI) sampai saat ini banyak rakyat Papua menjadi korban akibat kekerasan Militer Indonesia, oleh sebab itu generasi Papua perlu terapkan poligame agar orang Papua tidak punah dari atas negeri sendiri.
Hal itu diungkapkan Ciska di sela-sela sambutan Acara Syukuran Wisudawan dan pengukuhan Mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Pamongpraja Muda, di  Gor Kampus Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN) Jatinangor, Bandung, Jawa Barat, Kamis, (6/9), lalu.
“Namun yang paling inti sebagai kepala keluarga harus bertanggung jawab untuk mengurus keluarganya agar tidak menimbulkan kekerasan dalam rumah tanggah,” kata anggota Majelis Rakyat Papua itu.

Lanjutnya, bila kebiasan tersebut tidak terapkan oleh generasi Muda Papua maka orang Papua akan Punah. Karena, kata dia, angka kematihan di Papua semakin meningkat dari tahun ke tahun dibandingkan angkat kelahiran. “Dalam hal ini mama-mama Papua pun merasa sakit hati, karena anak yang dilahirkan ternyata untuk dibunuh oleh militer Indonesia,” katanya.
Ditambahkan, karena selama ini yang terjadi penembakan di Papua, pihak aparat selalu mengatakan OTK. “Kami sebagai perwakilan Orang Asli Papua merasa kecewa dengan pernyataan ini. Padahal yang memiliki sejata adalah TNI/POLRI, “tutur Mama Ciska.
Mandos Mote, Mahasiswa Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) mengatakan, setuju dengan ungkapan mama Ciska Abugau. “Jika melihat kondisi Papua saat ini populasi orang Papua menurun.  Angka kematian misterius sangat banyak. Maka, setuju dengan Mama Ciska. Mari kita angkat budaya poligami demi menyelamatkan manusia dan alam Papua, walaupun hal ini pertentangan dengan Agama,” kata Mote.  (Jekson Ikomou/003/MS)

14 Oktober 2012

Lanjutan Israel Vs Palestine

Oleh karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah orang Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang merasa nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan mereka. Dalam periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan bangsa Yahudi jauh lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi secara umum, kondisi orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman dahulu tetap menjadi sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana sudah saya sebut, kebencian pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu mendalam sekali karena dijustifikasi dengan ajaran agama. Sekarang ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah “antek Yahudi” adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja yang dianggap “memusushi” Islam — sama kotornya dengan istilah “antek PKI”.
Dulu, almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah media kalangan Islam fundamentalis di Jakarta sebagai “antek Yahudi”. Majalah itu menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik: nama Cak Nur dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa maksud karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap dalam belitan “ular” Yahudi. Hingga saat ini, bahkan di Amerika sekalipun, kita menyaksikan beredarnya sebuah teori konspirasi tentang “rencana Yahudi” untuk menguasai dunia. Buku “Protocols of Zion”, misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas rahasia Rusia beredar luas di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke dunia Islam. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan basaha-bahasa lain itu dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak kalangan sebagai dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang rencana bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia. Buku semacam ini jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford yang terkenal itu menulis buku yang sangat anti-Yahudi berjudul “The Jews”. Beberapa tahun yang lalu, saat usai memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens memberikan saya buku itu seraya berkata, “Bapak harus membaca buku ini”. Hingga sekarang, sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di Amerika.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada “zaman kegelapan” yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.
Ini yang menjelaskan kenapa Israel bersikap tanpa kompromi pada Hamas sebab kelompok ini memiliki misi khusus untuk menghancurkan negara Israel. Di mata Israel, Hamas jelas semacam mimpi-buruk yang menghantui mereka. Bangsa Yahudi jelas tak mau jatuh ke masa silam yang buruk, ke zaman pogrom dan holocaust. Tetapi justru di sini letak kelemahan bangsa Yahudi di Israel dan di manapun saat ini. Karena terlalu dihantui oleh masa lampau yang pahit, reaksi mereka terhadap ancaman saat ini terlalu berlebihan. Yang menjadi korban adalah bangsa Palestina. Sebagai sebuah negara, Israel, negara Yahudi itu, saat ini sudah cukup kuat dan sangat makmur. Memang kita bisa paham kenapa Israel selalu merasa tidak was-was dan tidak aman selama ini, sebab ia dikepung oleh tetangga-tetangga yang sangat membenci keberadaannya.
Kalau di awal tulisan ini saya mengtakan bahwa konflik Palestina-Israel boleh jadi tak akan pernah selesai, di ujung tulisan ini saya ingin mengemukakan sebuah harapan. Salah satu harapan itu adalah jika pihak bangsa Yahudi dan bangsa Arab, terutama Palestina, bisa mengatasi “masa lalu” mereka masing-masing. Bangsa Yahudi harus melepaskan diri dari “mentalitas diaspora” yang membuat mereka merasa terancam terus dan selalu mencurigai tetangga-tetanggany a. Jika mentalitas ini tak bisa diatasi, maka negara Israel akan terus mencari musuh dengan tetangga-tetangga dekatnya seperti kita saksikan sekarang ini. Dari pihak bangsa Arab, tantangan terbesar adalah mengatasi “rasa superioritas” mereka sebagai bangsa yang pernah berjaya selama berabad-abad di kawasan Arab dan sekitarnya, dan merasa bahwa bangsa Yahudi tak punya hak untuk mendirikan negara di tanah Palestina, sebab hal itu akan melukai rasa superioritas itu.
Dari pihak umat Islam sendiri secara keseluruhan juga ada tantangan yang sangat berat jika mereka benar-benar ingin ikut menyelesaikan masalah Palestina-Israel ini. Selama ini, kita semua tahu, ajaran yang membenci bangsa Yahudi diajarkan terus di sekolah-sekolah agama di seluruh dunia Islam, sejak zaman klasik hingga sekarang. Waktu saya di pesantren dulu, setiap guru saya menerangkan ayat-ayat dalam Quran yang membenci bangsa Yahudi, maka mereka memahaminya dengan tidak kritis, sehingga secara tak sengaja, mereka mengajarkan kebencian turun-temurun terhadap bangsa Yahudi. Bagaimana mungkin dunia Islam mau menyelesaikan masalah Palestina-Israel jika ajaran-ajaran yang membenci bangsa Yahudi ini terus ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Menurut saya, harus ada reinterpretasi ulang atas sejumlah ayat dan hadis yang membenci bangsa Yahudi dan selama ini diajarkan di lembaga-lembaga Islam. Jika tidak, maka selamanya akan terjadi kebencian dan permusuhan antara umat Islam dan bangsa Yahudi. Saya tak percaya bahwa umat Islam akan berhenti membenci bangsa Yahudi seandainya pun yang terakhir itu, misalnya, dengan sukarela membubarkan negara Israel lalu pergi dari tanah Palestina. Menurut saya, masalahnya lebih serius dari sekedar masalah “tanah”. Yang bermasalah adalah doktrin dalam agama itu sendiri.
Apa yang saya tulis ini jelas tak populer di kalangan Islam saat ini. Boleh jadi, tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konspirasi Yahudi pula. Silahkan saja. Dengan terus terang saya katakan, saya bukan “fan” atau pendukung ringan, apalagi berat, negara Israel. Saya benci dan jengkel pada tindakan dan kebijakan pemerintah Israel selama ini terhadap bangsa Palestina. Tetapi kita juga harus jujur melakukan otokritik pada diri kita sendiri. Ada sikap-sikap yang salah dan tak tepat juga di kalangan umat Islam terhadap bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Sikap-sikap yang berdasarkan pada doktrin agama itu harus dikritik jika umat Islam memang benar-benar ingin menegakkan perdamaian di bumi Palestina.[]
Wallahu a’lam bissawab
Ulil Abshar Abdalla

Yahudi Vs Palestine

YAHUDI ISRAEL vs PALESTINA


Berikut ini saya tampilkan kiriman e-mail dari koordinator JIL yg sekarang sedang menyelesaikan studi Ph.D di negerinya Barack Husein Obama. Sebagaimana ciri khas dari tulisannya, tulisan inipun juga menggelitik dan agak nyerempet-nyerempet terlebih bagi yg temperamental dan alergi dg perbedaan. Selamat menikmati, semoga semakin tercerahkan, bahwa perbedaan itu betul-betul nikmat, amin.
Saya kadang-kadang berpikir, jangan-jangan konflik Palestina-Israel tidak akan selesai “ila yaum al-qiyamah”, sampai hari kiamat. Satu-satunya harapan adalah jika kedua belah pihak lelah dan bosan perang, lalu dengan “sadar” meletakkan senjata dan saling jabat tangan. Tetapi titik-lelah itu belum kelihatan hingga sekarang. Kita harus siap untuk melihat jatuhnya korban terus-menerus di waktu-waktu mendatang. Sudah berkali-kali usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dilakukan oleh komunitas internasional, tetapi gagal terus. Masing-masing pihak mempunyai versinya masing-masing kenapa usaha diplomatik itu gagal. Pihak Israel sudah tentu menyalahkan pihak Palestina, sejak zaman PLO di bawah Arafat hingga sekarang ini di mana Hamas muncul ke permukaan menggantikan popularitas PLO. Pihak Palestina dan negara-negara Arab, kemudian diamini juga oleh dunia Islam, tentu menyalahkan pihak Israel sebagai biang kegagalan usaha diplomatik itu.
Saat perang atas terorisme dikumandangkan oleh Presiden Bush dari Washington, semua negara makin punya alasan untuk menjadikan momen ini untuk meningkatkan aksi-aksi militer mereka, tentu dengan alasan untuk memerangi terorisme. Rusia dan Cina telah melakukan itu. Kini Israel, sebelum Bush lengser beberasa saat lagi, seperti “kejar tayang” untuk menyelesaikan “masalah Hamas” dengan melakukan agresi besar-besaran. Seperti sudah bisa kita duga, aksi Israel ini didukung “tanpa syarat” oleh Presiden Bush. Mari kita lihat konflik ini dalam perspektif yang lebih luas sehingga kita bisa lebih “tenang” memahaminya. Tak ada dalam sejarah manusia di mana sebuah bangsa dibenci secara sistematis, menjadi sasaran prasangka buruk, stereo-type, rasialisme, dan persekusi seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Itulah sebabnya di Eropa di mana bangsa Yahudi mengalami banyak persekusi dan diskriminasi selama berabad-abad dikenal istilah “Jewish question”, masalah Yahudi.
Debat menganai “Jewish question” ini berlangsung lama sekali di Eropa dan baru tuntas pada pertengahan abad ke-20. Secara kuantitas, bangsa Yahudi tidaklah besar jumlahnya. Total jumlah orang Yahudi di seluruh dunia saat ini mungkin tak lebih dari 15 juta orang. Sebagian besar mereka tinggal di Israel dan Amerika. Selebihnya mereka terserak-serak sebagai koloni kecil-kecil di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, Amerika Latin, Asia, termasuk di negeri-negeri Arab sendiri. Tetapi bangsa yang kecil jumlahnya ini menjadi sasaran prasangka buruk dan kebencian oleh banyak pihak sejak zaman dahulu. Pertama-tama yang layak kita sebut adalah pihak Kristen. Selama beradad-abad, bangsa Yahudi menjadi sasaran diskriminasi dari pihak Kristen. Konflik antara Kristen dan Yahudi sudah berlangsung sejak awal, bahkan sejak kelahiran agama Kristen itu sendiri. Pertikaian antara orang-orang Yahudi dan Kristen bukan sekedar pertikaian politik biasa, tetapi juga pertikaian yang dijustifikasi secara teologis melalui ajaran agama. Lalu datang Islam. Sejak awal, pertikaian antara Islam dan Yahudi sama sekali tak terhindarkan.
Pada saat Nabi Muhammad datang di Madinah, ada sejumlah koloni orang-orang Yahudi di sekitar Madinah. Karena konflik dengan Nabi dan umat Islam saat itu, orang-orang Yahudi ditumpas habis dan sebagian lagi diusir secara total dari kawasan itu. Pada saat Islam berjaya sebagai kekuatan politik di kawasan Arab pada rentang antara abad 8 hingga abad 15 Masehi, bangsa Yahudi sebetulnya menikmati suasana yang lebih bersahabat di dunia Islam ketimbang di dunia Kristen. Tetapi, kebencian pada Yahudi sebagai sebuah agama tetap bertahan secara endemik dalam Islam. Bangsa Yahudi digambarkan sangat negatif dalam beberapa ayat di Quran, dan kemudian disokong pula dengan sejumlah hadis. Contoh kecil saja: sebuah hadis terkenal menyebutkan bahwa pada akhir zaman nanti Nabi Isa (atau Yesus) akan turun kembali ke bumi (persis dengan keyakinan dalam Kristen). Menurut hadis itu, tugas Nabi Isa pada saat itu, antara lain, adalah untuk menghancurkan salib dan membunuhi orang-orang Yahudi. Sebuah hadis lain menyebutkan bahwa dua frasa di ujung Surah al-Fatihah (bab pembuka dalam Quran) merujuk kepada orang Kristen dan Yahudi. Dua frasa itu adalah: “al-maghdub ‘alaihim” (orang-orang yang dibenci oleh Tuhan) dan “al-dallin” (orang-orang yang sesat).
Orang yang dibenci Tuhan maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh hadis itu, adalah orang Yahudi, sementara orang-orang yang sesat adalah orang-orang Kristen. Karena pengaruh Kitab Suci sangat mendalam pada umatnya, kita bisa membayangkan bagaimana dua frasa yang diulang-ulang setiap salat oleh seluruh umat Islam ini memiliki pengaruh dalam membentuk prasangka buruk terhadap bangsa Yahudi. Baik agama Kristen atau Islam mengandung unsur-unsur ajaran yang bisa membiakkan kebencian pada bangsa Yahudi. Ini bukan kebencian biasa, tetapi kebencian yang dijustifikasi oleh firman dan ajaran Tuhan sehingga pengaruhnya sangat mendalami. Tak heran sekali jika kebencian pada agama dan bangsa Yahudi bertahan selama berabad-abad. Kalau kita baca sejarah, tidak ada bangsa yang mengalami korban sebagai sasaran kebencian selama dan seserius seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Yang mengherankan, jumlah mereka sangat kecil sekali, tetapi kebencian pada mereka sungguh tak sebanding dengan jumlah itu. Atau justru karena mereka kecil lah dengan mudah menjadi “kambing hitam” di mana-mana. Persis seperti dialami oleh kaum minoritas di manapun yang cenderung dijadikan sasaran demonisasi dan pengambing-hitaman.
Kalau kita baca sejarah Amerika, hingga pertengahan abad 20, diskriminasi dan perlakuan yang tak menyenangkan dialami oleh bangsa Yahudi secara konsisten. Seorang profesor Yahudi yang pernah belajar di Universitas Harvard dan sekarang sudah pensiun pernah bercerita pada saya bahwa hingga tahun 60an, orang-orang Yahudi mendapat kesulitan untuk memperoleh posisi sebagai profesor di Universitas Harvard. Menurut dia, seorang ekonom Yahudi yang sangat kondang dan pernah memenangkan hadiah Nobel, Paul Samuelson, ditolak lamarannya sebagai profesor di Universitas Harvard pada tahun 40an. Menurutnya, Samuelson ditolak terutama karena keyahudiannya. Akhirnya, MIT (Massachusetts Institute of Technology) menampung dia. Saat di MIT itulah Samuelson mendapatkan hadiah Nobel. Saya kira, Universitas Harvard malu dengan kejadian ini. Di dunia Islam, jelas orang-orang Yahudi saat ini merasa kurang nyaman.


Oleh karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah orang Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang merasa nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan mereka. Dalam periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan bangsa Yahudi jauh lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi secara umum, kondisi orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman dahulu tetap menjadi sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana sudah saya sebut, kebencian pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu mendalam sekali karena dijustifikasi dengan ajaran agama. Sekarang ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah “antek Yahudi” adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja yang dianggap “memusushi” Islam — sama kotornya dengan istilah “antek PKI”.
Dulu, almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah media kalangan Islam fundamentalis di Jakarta sebagai “antek Yahudi”. Majalah itu menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik: nama Cak Nur dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa maksud karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap dalam belitan “ular” Yahudi. Hingga saat ini, bahkan di Amerika sekalipun, kita menyaksikan beredarnya sebuah teori konspirasi tentang “rencana Yahudi” untuk menguasai dunia. Buku “Protocols of Zion”, misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas rahasia Rusia beredar luas di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke dunia Islam. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan basaha-bahasa lain itu dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak kalangan sebagai dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang rencana bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia. Buku semacam ini jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford yang terkenal itu menulis buku yang sangat anti-Yahudi berjudul “The Jews”. Beberapa tahun yang lalu, saat usai memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens memberikan saya buku itu seraya berkata, “Bapak harus membaca buku ini”. Hingga sekarang, sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di Amerika.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada “zaman kegelapan” yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.