25 Juni 2011

Tipologi Perjanjian Baru 1 dan 2


 
TUGAS INTERAKSI BACAAN

BUKU TEOLOGIA PERJANJIAN BARU 1 DAN 2
MEMENUHI MATA KULIAH TEOLOGI PB






 






Nama              : Metuben Gombo
NPM               : 10017054
Semester        : II (Dua)
Dosen             : Pdt. Dr. Daniel Ronda, Th. M











SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA JAFFRAY MAKASSAR
MAHASISWA PASCA SARJANA KELOMPOK BELAJAR
JAYAPURA – PAPUA 2011
KATA PENGANTAR


Pekerjaan membaca dan meringkas buku ini suatu hal yang amat berat, karena disini membutuhkan konsentrasi penuh dan benar-benar fokus dan membutuhkan alokasi waktu yang banyak. Jikalau tidak demikian maka apapun kita baca hanya sambil lalu saja, maka tidak menghasilkan apa-apa dan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi pribadi dan juga orang lain sebagai konsumen.
Ketika ada tugas seperti ini mahasiswa benar-benar ditantang dalam hal membaca dan menganalisa pada suatu buku. Namun itulah yang harus dilakukan dan dipertanggungjawabkan sebagai wujud nyata atau ditujukan sebagai identitas diri sebagai mahasiswa, karena pendidikan itu mahal maka dibayar juga dengan harga yang mahal pula.

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BUKU TEOLOGI PERJANJIAN BARU I

I.    ALLAH SEBAGAI PENCIPTA BAPA DAN RAJA ..................................... 1
1.      Keyakinan Dasar ...................................................................................... 1
A.    Allah Sebagai Pencipta ........................................................................... 2
B.     Pemeliharaan Allah ................................................................................. 3
C.     Allah Sebagai Bapa .................................................................................. 4
D.    Allah Sebagai Raja dan Hakim .............................................................. 5

II.   SIFAT-SIFAT ALLAH ...................................................................................... 6
A.    Kemuliaan Allah ...................................................................................... 6
B.     Hikmat dan Pengetahuan Allah ............................................................ 8
C.     Kekudusan Allah ..................................................................................... 9
D.    Kebenaran dan Keadilan Allah ............................................................ 10
E.     Kasih dan Anugerah Allah .................................................................... 12
F.      Kebaikan dan Kesetiaan Allah ............................................................. 13
G.    Keunikan Allah ....................................................................................... 14

III. MANUSIA DALAM DIRINYA SENDIRI ............................................... .... 14
A.    Keunggulan Manusia Atas Binatang ................................................... 15
B.     Nilai Manusia Yang Sangat Besar Dihadapan Allah ......................... 16
C.     Pandangan Yesus Mengenai Manusia Dalam Masyarakat .............. 17
D.    Tanggungjawab Manusia Secara Pribadi ............................................ 17
E.     Manusia Dalam Hubungannya Dengan Allah ................................... 19
 
IV. YESUS KRISTUS ............................................................................................. 22
A.    Yesus Sebagai Manusia Sejati ............................................................... 22
B.     Makna Teologis ....................................................................................... 23
1.      Mesias ................................................................................................. 24
2.      Pentingnya Gelar Mesias ................................................................. 25
3.      Anak Daud ......................................................................................... 26
4.      Hamba ................................................................................................. 27
5.      Anak Manusia .................................................................................... 28
6.      Tuhan .................................................................................................. 28
7.      Anak Allah ......................................................................................... 29

BUKU TEOLOGI PERJANJIAN BARU II

I.    MISI KRISTUS ................................................................................................. 32
A.    Kerajaan Allah ......................................................................................... 32
B.     Karya Penyelamatan .............................................................................. 35

II.   KARYA ROH KUDUS DALAM PELAYANAN YESUS ........................... 39
III. KEHIDUPAN KRISTEN ................................................................................ 42

KESIMPULAN ................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 45






TUGAS INTERAKSI BACAAN TEOLOGI PB
BUKU PERJANJIAN BARU I

I.          ALLAH SEBAGAI PENCIPTA, BAPA DAN RAJA
  1. Keyakinan Dasar
Teologi Perjanjian Baru (PB), dimulai dengan beberapa keyakinan yang besar, yakni, bahwa Allah ada, bahkan Ia menciptakan manusia dan terus menerus menaruh perhatian pada manusia. Kita dapat menjawab bahwa pada akhirnya teologi Kristen dapat dipahami sepenuhnya oleh orang-orang yang memiliki iman. Harus diingat bahwa baik PL maupun teologi PB tidaklah semata-mata dikuasai oleh suatu pendekatan yang bersifat intelektual.
Juga perlu ditegaskan bahwa keyakinan-keyakinan dasar PB adalah absah sepenuhnya. Keberadaan Allah dan perhatian-Nya terhadap ciptaan-Nya memberikan penjelasan yang masuk akal mengenai keberadaan manusia itu sendiri. Semua penulis PB mempunyai pandangan yang sama tentang Allah seperti yang dikemukakan dalam PL. kisah penciptaan berpusat pada inisiatif Allah sendiri yang memiliki kemampuan untuk menciptakan, dan pemahaman tentang Allah sebagai pencipta dunia ini mendasari pemikiran PL. lagi pula adalah keyakinan dasar dalam PL bahwa pencipta juga adalah penopang ciptaan-Nya. Langit dan bumi adalah pekerjatangan-Nya dan Ia memiliki kuasa tertinggi atas tata alam ini.
Pandangan PL yang begitu tinggi terhadap kekudusan Allah berkaitan dengan pandangan mengenai perjanjian kasih-Nya, yang merupakan pandangan yang melengkapinya. Dalam melakukan pendekatan terhadap PB, penting untuk mengenal bahwa PL memandang kasih Allah sebagai kasih yang benar, kasih yang tidak pernah besifat sentimental.
Ajaran tentang Allah sudah begitu mendasar bagi semua bagian PB sehingga banyak buktinya lebih terdapat dalam keyakinan-keyakinan daripada dalam pernyataan-pernyataan yang khusus. Meskipun demikian, ada banyak pernyataan yang sangat berarti. Berikut ini kita akan membahas Allah sebagai pencipta, pemeliharaan Allah, Allah sebagai Bapa, Allah sebagai Raja dan Hakim, serta bermacam-macam gelar yang lain untuk Allah. Kemudian secara ringkas mengenai sifat-sifat Allah.
a.      Allah Sebagai Pencipta
Tidak ada keraguan bahwa orang-orang Kristen meyakini tanpa memperdebatkan bahwa Allah adalah pribadi yang memulai dalam semesta ini. Mereka mengambil alih keyakinan ini dari PL dan juga dari pengajaran Yesus. Pernyataan yang paling jelas dari pengajaran Yesus yang dicatat dalam kitab-kitab Injil Sinoptik mengenai tema ini terdapat dalam Markus 13:19 (“Sejak awal dunia, yang diciptakan Allah”). Yesus juga mengutip pernyataan PL dan menerima sepenuh bahwa Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan (Markus 10:6; Matius 19:4). Dalam kitab-kitab Injil tidak ada petunjuk yang memberikan kesan bahwa asal mula alam semesta ini bukan berasal dari Allah sendiri.
Dalam khotbahnya kepada orang-orang Atena, Paulus dengan berani memberitakan bahwa Allah yang ia sembah itu adalah “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia yang adalah Tuhan atas langit dan bumi” (Kis. 17:24). Kuasa penciptaan-Nya juga terlihat dalam pernyataan bahwa manusia adalah keturunan-Nya (Kis. 17:29). Khotbahnya di Listra, Paulus membuat penegasan yang sama tentang kuasa Allah dalam penciptaan (Kis. 14:15).
Dalam surat-surat Paulus, dikemukakan secara jelas adanya hubungan antara pencipta dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya (Roma. 1:25), hasil ciptaan mencerminkan karya penciptaannya (Roma 1:20). Sesungguhnya, ciptaan itu menunjukkan sesuatu tentang sifat Allah (kuasa-Nya yang kekal dan keilahian-Nya). Ciptaan adalah karya tangan Allah sendiri. Ada pernyataan-pernyataan khusus yang menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah (Roma 11:36; 1 Kor 8:6; 11:12; Ef 3:9).

b.     Pemeliharaan Allah
Memikirkan pengajaran PB  mengenai pemeliharaan Allah akan alam semesta sama pentingnya dengan memperhatikan keyakinan-keyakinan dasarnya tentang karya Allah dalam penciptaan. PB menjelaskan tentang aktivitas Allah yang terus berlangsung dalam alam semesta. PB tidak mendukung pendapat yang mengatakan bahwa setelah menciptakan dunia, Allah membiarkannya tanpa memperdulikannya. Pandangan tersebut sangat berbeda dengan pandangan yang melatarbelakangi pendekatan PB, yaitu bahwa pemeliharaan didasarkan pada sifat Allah.
Dalam ajaran Yesus, terdapat penekanan khusus mengenai pemeliharaan Allah yang istimewa akan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Untuk memperlihatkan secara terperinci sifat pemeliharaan Allah, Ia menjelaskan bahwa tidak seekor burung pipit pun, yang dinilai kecil oleh manusia, jatuh ke bumi di luar kehendak Bapa (Mat. 10:29). Hal ini didukung lebih lanjut oleh ajaran yang mengatakan bahwa Bapa sorgawi memberi makan kepada burung-burung tanpa mereka harus menabur benih, memetik atau menyimpan makanannya (Mat. 6:26).

c.       Allah Sebagai Bapa
Ajaran tentang kebapaan Allah adalah ajaran yang paling khas dalam PB dan khususnya dalam ajaran Yesus. Pada masa itu, orang-orang penyembah berhala beribadah kepada dewa-dewanya dalam suasana ketakutan, tetapi pandangan Kristen kebapaan Allah memberikan unsur kemesraan ke dalam hubungan manusia dengan Allah yang tidak ada bandingnya dalam dunia kafir.
Kedatangan Kristus menyebabkan gambaran yang samar tentang  kebapaan ini menjadi suatu pandangan tentang Allah yang menunjukkan bahwa hubungan manusia yang paling mesra (bapa-anak) merupakan suatu pencerminan dari sifat Allah yang hakiki (Ef. 3:14, 15). Dalam PB dikemukakan tiga hal mengenai kebapaan Allah. Dia adalah Bapa Yesus (Yesus sebagai Anak Allah), Bapa Murid-Murid Yesus, dan Bapa dari semua ciptaannya. Penting untuk diperhatikan bahwa hubungan “bapa-anak” yang bertitik bagi orang-orang yang percaya. Hubungan itu terjadi, karena tindakan penebusan Allah.
Contoh yang paling terkenal yang memperlihatkan Allah sebagai Bapa bagi murid-murid-Nya ditujukkan oleh Yesus Kristus dalam bentuk doa yang Ia ajarkan kepada mereka. Dalam doa “Bapa kami” Allah disapa secara langsung dengan sebutan Bapa.
Segi lain
d.     Allah Sebagai Raja dan Hakim
Di dalam keseluruhan PB ditemukan keyakinan bahwa Allah adalah Raja. Konsep Kerajaan itu menunjukkan adanya seorang Raja yang memerintah rakyatnya. Ada banyak perikop PL yang menunjukkan bahwa Allah dipandang sebagai Raja, dan hal ini merupakan dasar yang kokoh bagi penggunaannya dalam PB.
Kedudukan seorang Raja meliputi kedaulatan, dan kedaulatan dalam fungsinya yang sebenarnya mencakup unsur tanggungjawab.
Pengertian tentang Allah sebagai Raja berdasar pada kenyataan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Dalam doa orang-orang Kristen mula-mula mereka mengakui ini, dengan menyebut nama Allah sebagai “Tuhan” yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya” (Kis. 4:29).
Gambaran takhta Allah yang digunakan dalam PB adalah gambaran yang menggabungkan konsep tentang Raja dan Hakim. Pengertian mengenai jabatan Raja dan Hakim berhubungan erat, kepastian akan penghakiman Allah merupakan pandangan utama yang melatarbelakangi khotbah Yohanes pembaptis yang tajam itu (Mat. 3:7; Luk. 3:7).
Yesus mempunyai pandangan yang sama pada waktu Ia membicarakan mengenai penghakiman Allah pada masa yang akan datang (Mat. 7:1, 2; 1:22-24 : 12:36-37). Bagi Paulus gagasan tentang Allah sebagai Hakim merupakan suatu bagian hakiki dari Injilnya (Roma. 2:16).

II.        SIFAT-SIFAT ALLAH
Dalam bagian ini beberapa sifat Allah yang dikelompokkan sebagai berikut : Kemuliaan Allah, Hikmat Allah, Kekudusan Allah, Kebenaran Allah, Kasih dan Anugerah Allah, Kebaikan Allah, Keunikan Allah, dan Keesan Allah.
a.      Kemuliaan Allah
Sungguh menakjubkan bahwa penulis-penulis PB begitu sering menyebut kemuliaan dan keagungan Allah. Bukan hanya itu, mereka juga mendorong orang-orang untuk kemuliaan Allah. Dituliskan bahwa orang-orang seringkali secara spontan memuliakan Allah atas karya kuasa-Nya  yang ajaib.
Gembala-gembala memuji dan memuliakan Allah pada saat kelahiran Yesus (Luk. 2:20); demikian juga orang-orang yang menyaksikan orang lumpuh disembuhkan (Mrk. 2:12; Luk. 5:25-26; Mat. 9:8) dan pada waktu sejumlah orang menderita bermacam-macam penyakit disembuhkan dan seterusnya.
Dalam tulisan Yohanes menjelaskan bahwa ia dan orang-orang lain telah memperhatikan kemuliaan dalam pelayanan Yesus yang berasal dari sumber ilahi (Yoh. 5:41). Memang, kemuliaan Yesus tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya dengan kemuliaan Allah (Yoh. 1:14; 11:4, 40; 13:31). Jadi apabila Anak Manusia dipermuliakan maka dapat dikatakan itu memuliakan Allah (Yoh. 13:31-32). Hal yang penting diperhatikan ialah bahwa Allah bukan saja dianggap mulia, tetapi merupakan patokan ukuran bagi kemuliaan orang lain, bahkan di dalam hal kemuliaan Anak-Nya sendiri (Yoh. 17:5).
Konsep mengenai kemuliaan Allah ini dilanjutkan dalam bagian-bagian PB lainnya. Dalam Ibrani 1:3, dikatakan bahwa Kristus adalah “Cahaya kemuliaan Allah”, ini berarti bahwa pribadi Kristus merupakan gambaran keagungan dan kuasa Allah, dalam arti yang sama dengan gagasan PL tentang Hadirat Allah yang mulia. Tujuan utama manusia adalah untuk memuliakan Allah (1 Ptr. 2:12; 4:11).

b.     Hikmat dan Pengetahuan Allah
Allah itu hikmat, maka apa yang dikatakan-Nya tentulah benar. Dalam bagian-bagian lain dari tulisan-tulisan Lukas, hikmat dikaitkan dengan Roh Kudus. Paulus membedakan secara tegas antara hikmat Allah dengan hikmat manusia (1. Kor. 1:20) dan menunjukkan keunggulan hikmat Allah. Sesungguhnya hikmat manusia berubah menjadi kebodohan bila dipandang dari sudut hikmat Allah. Hal ini menyatakan bahwa hikmat Allah merupakan tolak ukur, yang berarti bahwa semua hikmat yang lain diukur menuntut patokan ini. 
Jika hikmat adalah penggunaan yang tepat dari pengetahuan maka hikmat yang sempurna disebabkan adanya pengetahuan yang sempurna. Penulis-penulis PB tidak pernah meragukan pengetahuan Allah yang sempurna. Matius mencatat perkataan Yesus yang mengatakan bahwa “Bapa Mu mengetahui apa yang kamu perlukan sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mat. 6:8), hal ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai pengetahuan yang tepat dan terperinci mengenai tindakan-tindakan dan kebutuhan-kebutuhan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Ia melihat apa yang dilakukan manusia secara tersembunyi. (Mat. 6:4, 6). Yesus menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui (Mat. 10:36).
Penulis-penulis PB umumnya sadar bahwa kehendak Allah bersifat menguasai dan mengikat. Yesus sendiri menunjukkan kesadaran yang terdalam tentang hal ini. Fokus dari pengalaman Yesus di Getsemani terletak pada kata-kata Yesus, “Janganlah seperti yang Ku kehendaki melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat. 26:39; 26:42). Apa yang dikehendaki Allah tentulah yang terbaik bagi Anak, sekalipun itu memerlukan tindakan pengorbanan diri, hal itu yang membuat Anak menjadi kecut untuk sementara. Kehendak Allah itulah yang menguasai saat yang paling gelap yang dialami Yesus. Dengan latar belakang inilah permohonan “Jadilah kehendakmu” dalam doa “Bapa kami” memperoleh makna (Mat. 6:10). Melakukan kehendak Bapa adalah tanda menjadi anggota keluarga Allah (Mat. 12:50).

c.       Kekudusan Allah
Sifat Allah yang paling khas dalam PL ialah kekudusan-Nya. Walaupun bangsa-bangsa, benda-benda dan tempat-tempat disebut kudus, tetapi ini hanyalah dalam arti “dikhususkan bagi Allah”, sebenarnya hanyalah Allahlah yang kudus. Kekudusan itu berarti bahwa Dia betul-betul murni dalam pikiran dan sikap. Nama Allah yang khas dalam nubuat Yesaya adalah “yang Kudus” (Yes. 6). Kekudusan inilah yang segera merintangi pendekatan manusia kepada Allah, karena manusia menyadari ketidak kudusannya sendiri dihadapan Allah. Israel mempunyai Allah yang kudus, karena itu ketentuan-ketentuan ditetapkan terhadap bangsa itu agar mereka menjadi suatu bangsa yang kudus, tetapi mereka tidak dapat memenuhinya.
Tentu saja keyakinan bahwa Allah adalah kudus merupakan unsur penting dalam uraian PB mengenai keselamatan. Yesus pernah menyebut Allah sebagai “Bapa  yang Kudus” (Yoh. 17:11). Pada waktu Yesus dihadapkan dengan siksaan dalam penderitaan-Nya, Yesus sangat menyadari kemutlakan kekudusan Bapa-Nya yang telah mengutus-Nya. Pengenaan kekudusan kepada Allah adalah ciri khas dari tulisan-tulisan Yohanes; hal ini juga terdapat dalam 1 Yoh. 2:20 dan beberapa kali dalam kitab Wahyu (Why. 4:8; 16:5).

d.     Kebenaran dan Keadilan Allah
Sifat moral Allah yang telah disebut pada pembahasan-pembahasan sebelumnya barulah kebenaran dan kekudusan-Nya yang mutlak. Tetapi perlu lebih banyak dibicarakan tentang kebenaran Allah, karena inilah dasar bagi seluruh rencana penyelamatan. Dalam PL, Allah selalu bertindak dengan cara yang benar secara moral, dan Allah bertindak demi kepentingan umat-Nya pada waktu mereka ditindas secara tidak adil. Dalam PB, rasul Paulus menguraikan sifat Allah yang penting ini.
Dalam surat Roma dengan penegasan bahwa kebenaran Allah telah dinyatakan (Roma. 1:17). Hubungan Allah dengan kebenaran cukup jelas. Kebenaran yang sejati berasal dari Allah (Roma. 10:3; Fil. 3:9). Dalam II Kor. 5:21, Paulus menyatakan bahwa Kristus dibuat menjadi dosa “supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah”. Paulus menguraikan mengenai hakekat kehidupan yang baru yang dimiliki orang Kristen sebagai “yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya”. (Ef. 4:24), hal itu memperlihatkan bahwa kebenaran merupakan unsur pokok yang hakiki dalam citra Allah.
Pernyataan-pernyataan yang paling penting adalah pernyataan-pernyataan  yang terdapat dalam Injil Yohanes; Yesus memasukkan gagasan itu ke dalam sebutan-sebutan yang ditujukan-Nya kepada Bapa seperti “Ya Bapa yang adil” (Yoh. 17:25). Keadilan Allah adalah hal yang sangat mutlak apabila kita mengingat akan penghakiman Allah. Allah yang adil secara mutlak harus menghakimi dengan keadilan yang mutlak pula (Roma. 2:5).





e.      Kasih dan Anugerah Allah
Keyakinan bahwa Allah adalah Allah yang mengasihi merupakan keyakinan yang mendasari semua bagian PB. Keyakinan ini dasar yang kuat dalam PL dan dalam tulisan-tulisan Yahudi. Ungkapan yang paling jelas mengenai sifat Allah yang penuh kasih terdapat dalam Surat I Yohanes. Dalam surat ini terdapat pernyataan bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh. 4:8, 16). Hal ini memusatkan perhatian pada kasih yang merupakan sifat hakiki Allah, sehingga dapat dikatakan bahwa kasih dapat dianggap sebagai pokok yang mendasari pendekatan Allah kepada manusia.
Kasih Allah ini harus betul-betul dibedakan dengan kasih manusia, Allah yang mengasihi manusia. Dia yang lebih dahulu mengasihi, bukan manusia (1 Yoh. 4:10, 19). Yohanes dipenuhi oleh pikiran tentang kasih Allah yang telah memampukan manusia untuk menjadi anak-anak Allah (1 Yoh. 3:1). Lagi pula, bila manusia harus saling mengasihi, maka kasih Allah harus merupakan sumber kasih itu (1 Yoh. 4:7).
Rasul Paulus  sungguh-sungguh menyadari bahwa Ia berhutang pada anugerah Allah. Ia memandang panggilannya sebagai suatu tindakan anugerah (Gal. 1:15). Ia yakin bahwa orang-orang Kristen diselamatkan oleh anugerah Allah (Roma. 3:24; 5:15; Ef. 2:5; Ti. 2:11). Ia merasakan nilai yang luar biasa dari anugerah yang begitu berlimpah (2 Kor. 9:14; Ef. 2:7). Ia memandang anugerah Allah sebagai pokok pujian (Ef. 1:6).

f.       Kebaikan dan Kesetiaan Allah
Kebaikan Allah berhubungan erat dengan kekudusan Allah secara moral. Penting untuk diperhatikan bahwa kata “baik” (agathos) hanya digunakan semata-mata kepada Allah oleh Yesus ketika Ia menolak sebutan “Guru yang baik” yang ditunjukkan kepada-Nya oleh seorang muda yang kaya (Mrk. 10:17); Mat. 19:17; Luk. 18:18-19). Pernyataan “Hanya satu yang baik, yaitu Allah” menjelaskan bahwa sifat Allah itulah yang merupakan patokan yang harus menentukan semua pemahaman manusia tentang kebaikan.
Gagasan kesetiaan Allah ini juga terdapat dalam tulisan-tulisan PB. Dalam Ibrani 10:23, kesetiaan Allah yang tetap menjadi dasar untuk menghimbau para pembaca agar teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan mereka. Dalam daftar para pahlawan Iman, dikatakan bahwa cara menganggap Dia yang memberikan janji itu setia (Ibr. 11:11), hal ini memperlihatkan hubungan erat antara Iman manusia dan kesetiaan Allah. Petrus mengingatkan akan kesetiaan pencipta sebagai penghiburan bagi mereka yang menderita (1 Ptr. 4:19), sedangkan Yohanes menyebutkan kesetiaan Allah yang mendorong-Nya untuk mengampuni dosa-dosa (1 Yoh. 1:9). Terdapat keyakinan janji-janji-Nya. Teologi PB mengajarkan bahwa Allah damai sejahtera ada di tengah-tengah alam semesta dan di belakang semua peristiwa kehidupan manusia yang gejolak.

g.      Keunikan Allah
Bahwasannya Allah itu tidak dapat berubah adalah bagian dari warisan PL, pengakuan ini ditanpakkan dengan jelas dalam Ibrani 1:10-12 yang dikutip dari Mzm 102:25-27. Sifat ini memberikan kesan yang sangat dalam bagi penulis, hal ini terlihat dalam pengungkapan kembali sifat itu dalam Ibrani 6:7. Sifat ini juga mendasari keyakinan PB bahwa nubuatan-nubuatan PL telah digenapi pada zamannya. PB menerima bahwa Allah yang telah menyatakan diri-Nya pada masa lampau, adalah pribadi yang sama yang sekarang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus.
Hakekat Allah yang tidak dapat berubah itu adalah batu karang yang merupakan landasan bagi perjanjian lama dan perjanjian baru untuk dapat berdiri besama.

III.       MANUSIA DALAM DIRINYA SENDIRI
Menurut PB, manusia merupakan bagian terpenting dalam seluruh penciptaan; pandangan ini sesuai dengan ajaran PL. sesungguhnya, putusnya hubungan antara manusia dengan Allah yang merupakan sebab musabab, tindakan Kristus yang mendamaikan, dipandang sebagai tanggungjawab manusia.
Titik tolak kita dalam mempertimbangkan pokok pembahasan mengenai manusia ialah bahwa Yesus sebagai manusia secara utuh memperlihatkan citra manusia yang sempurna. Diri-Nya merupakan tolak ukur bagi semua manusia lainnya. Karena para penulis kitab-kitab Injil pada dasarnya memperhatikan kehidupan Yesus sebagai manusia dan karena mereka mempunyai keyakinan yang sama dengan para penulis PB lainnya bahwa Yesus tidak tercela, maka jelaslah bahwa mereka ingin memperlihatkan kepada kita gambaran yang sempurna mengenai manusia sebagaimana mestinya melalui diri Yesus.
Disini dapat menyimpulkan bahwa pokok-pokok tertentu atas dasar uraian kitab-kitab Injil ini. Hal ini akan memungkinkan kita untuk mengumpulkan keterangan mengenai ajaran tentang manusia.
a.      Keunggulan Manusia Atas Binatang
Walaupun keterangan mengenai hal ini sedikit sekali, namun pokok ini merupakan keyakinan yang mendasar. Pada waktu Yesus berkata, “Kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit” (Mat. 10:31), Ia memperlihatkan suatu perbandingan yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Pandangan yang sama terlihat juga dalam kecaman Yesus kepada mereka yang mempersoalkan tentang penyembuhan seseorang pada hari Sabat, pada hal mereka sendiri akan menyelamatkan hewan mereka pada hari Sabat apabila hewan tersebut jatuh ke dalam lobang (Mat. 12:10,11).

b.     Nilai Manusia Yang Sangat Besar Dihadapan Allah
Dalam konteks yang sama dengan perkataan Yesus mengenai “Burung pipit”, Dia menyebutkan bahwa rambut kepala seseorang pun terhitung semuanya (Mat. 10:30). Tetapi hal ini melampaui batasan ajaran Yesus sendiri, Ia tidak berbicara tentang Tuhan sebagai “Bapa semua orang”. Syarat-syarat untuk menjadi anak-anak Allah ialah pertobatan dan Iman. Hal ini tentu bersifat membatasi. Allah itu Bapa bagi semua orang hanya dalam peristiwa penciptaan.
Segi-segi lain tentang nilai manusia dapat dilihat dalam pernyataan-pernyataan seperti Markus 8:37; Matius 16:26; Luk 9:25, yang berbicara tentang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawa. Hal ini berarti bahwa nilai manusia dianggap lebih tinggi daripada prestasinya, miliknya dan kuasaNya. Yesus lebih memperlihatkan manusia sebagaimana adanya dan bukan menurut apa yang milikinya.
Yang dimaksudkan-Nya ialah prinsip prioritas, bahwa manusia lebih penting daripada benda. Tidak ada kesan bahwa Yesus mendukung pandangan yang mengatakan bahwa lingkungan yang sempurna dapat membawa pada perwujudan potensi manusia secara sempurna pula. Misi Yesus didasarkan pandangan yang lebih realitas mengenai keadaan manusia sebagaimana adanya.
Pada waktu Dia berkata bahwa memiliki tubuh yang cacat lebih baik daripada kehilangan hidup (Mrk. 9:43-47), Dia mempunyai pandangan bahwa dengan memperoleh keadaan manusia yang utuh itu membenarkan pembayaran harga yang sebesar-besarnya. Namun, keadaan manusia yang utuh ini tidak harus mencakup keadaan fisik yang ideal. Dengan perkataan lain, nilai-nilai rohani seperti lebih diutamakan daripada nilai-nilai jasmani.

c.       Pandangan Yesus Mengenai Manusia Dalam Masyarakat
Yesus dengan jelas menyatakan bahwa manusia tidak pernah dimaksudkan untuk hidup secara individual tanpa memperdulikan orang di luar dirinya sendiri. Dia sepenuhnya mendukung pandangan PL tentang solidaritas diantara sesama manusia, termasuk pemerataan tanggungjawab.
Yesus sendiri merasa prihatin terhadap orang-orang yang rendah dalam masyarakat, terhadap orang-orang miskin dan melarat, terhadap orang-orang tuli, orang-orang buta, orang-orang lumpuh (Mat. 11:4). Dia bergaul dengan orang-orang tercela seperti para pemungut cukai dan orang-orang berdosa (Mat. 11:19) dan Ia berusaha untuk membawa mereka masuk ke dalam kerajaan Allah (Mat. 21:31).

d.     Tanggungjawab Manusia Secara Pribadi
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, diharapkan untuk mematuhi peraturan-peraturan Allah. Ketetapan-ketetapan PL, misalnya tentang janji setia seorang suami kepada istrinya dan sebaliknya, dianggap berlaku untuk manusia secara umum, karena ketetapan-ketetapan itu merupakan bagian dari peraturan Allah bagi ciptaan (Mat. 19:3).
Manusia diharapkan untuk patuh, Ia tidak diberi kesempatan untuk menentukan sendiri. Pandangan yang mengakui adanya kekuasaan supernatural di luar diri manusia tidak disukai oleh penganut humanisme dan eksistensialisme modern. Juga oleh semua orang berdosa di segala tempat, karena hal itu mengganggu kebebasan manusia untuk memilih. Yesus sendiri merupakan teladan sempurna dalam ketaatan penuh kepada Allah. Dia memikul salib-Nya sendiri secara kenyataan maupun dalam arti rohani.  Lukas mencatat kata-kata Yesus yang merangkumkan pokok pembicaraan kita “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata, “kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk. 17:10).
Karena itu, dalam pandangan Yesus, diri manusia sejati terdapat dalam kehidupan yang taat kepada Allah, karena Allah mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Manusia itu bergantung pada Allah. Ia ajarkan untuk berdoa “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Mat. 6:11). Tidak ada kesempatan bagi manusia untuk membanggakan keberhasilannya sendiri, karena orang yang lemah lembutlah yang akan memiliki bumi” (Mat. 5:5).
Pandangan ini tidak dapat diterima pada zaman ilmu pengetahuan sekarang ini, karena pada zaman ini prestasi manusia telah membuat manusia berpikir bahwa tidak ada hal apapun yang tidak mampu Ia lakukan. Tetapi kata-kata Yesus tidak ditujukan pada kemampuan manusia dibidang ilmu pengetahuan, tetapi pada kehidupan dihadapan Allah. Apapun yang dilakukannya, sebagai makhluk ciptaan, manusia itu tetap bergantung pada pemeliharaan Allah. Dengan segala kepintarannya, manusia belum mampu menciptakan dunia dan apabila dia sanggup melakukannya, ajaran Yesus akan tetap relevan.

e.      Manusia Dalam Hubungannya Dengan Allah
Rasul Paulus menyatakan bahwa kedudukan orang-orang Yahudi maupun orang-orang bukan Yahudi sama-sama ada di bawah kuasa dosa (Roma 3:9), kesimpulan ini didukung oleh beberapa kutipan PL, yang dimulai dengan pernyataan tegas, “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah” (Roma 3:10-11). Selanjutnya ia menegaskan bahwa seluruh dunia jatuh ke bawah hukuman Allah (Roma 3:19). Sesungguhnya, berdasarkan keyakinan bahwa semua manusia berdosa tidak ada perbedaan, semua orang telah berbuat dosa. (Roma 3:23).
Manusia bertanggungjawab atas dosa yang dilakukannya. Tanggungjawab manusia terhadap Allah (Roma 3:19), yang secara khusus ditegaskan oleh Paulus, mencerminkan keyakinannya bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan dosanya, terutama aspek dosa yang dipandang sebagai pemberontakan terhadap Allah. Karena manusia tidak dapat membela dirinya sendiri, maka harus bertanggungjawab atas dosanya kepada Allah.
Akibat dosa yang paling sering disebut Paulus ialah maut. Maut dianggap sebagai musuh yang terakhir (I Kor. 15:26). Sangat maut ialah dosa. (Dalam Roma 5-7) Paulus sering menghubungkan dosa dengan maut secara langsung. Perikop yang paling jelas adalah Roma 5:12-21, yang bagian awalnya menegaskan bahwa maut itu masuk ke dalam dunia melalui dosa dan bahwa dosa itu berkuasa sejak zaman Adam sampai zaman Musa. KuasaNya berlanjut terus sampai kedatangan Yesus Kristus, yang melalui kematian-Nya sendiri mengubah keadaan dan membawa karunia Allah yaitu anugerah.
Dosa berkuasa dalam alam maut, sedangkan kasih karunia berkuasa dalam kebenaran (Roma. 5:21), Paulus berbicara mengenai orang-orang percaya sebagai orang-orang yang telah dibaptis dalam kematian Kristus, sehingga mereka mati bagi kuasa dosa dan mereka harus menganggap dirinya sedemikian (Roma. 6:2), akibat dosa yang tak dapat dielakkan ialah putusnya hubungan antara Allah dan manusia. Paulus menjelaskan bahwa sebelum seseorang menjadi orang Kristen keadaannya masih seteru dengan dosa (Roma. 5:10) orang-orang bukan Yahudi hidup di dunia tanpa pengharapan dan tanpa Allah (Ef. 2:12). Murka Allah menempatkan kita jauh dari-Nya.
Pandangan Paulus bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang tidak berdosa. Dia mempertahankan pandangan PL, bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (1 Kor. 11:7), yang tentunya berarti bahwa ia tidak jahat. Gambar itu menandakan sifat moral dari Allah. Masuknya dosa ke dalam dunia mengakibatkan tercemarnya gambar itu. Karena itu dalam rencana keselamatan, gambar itu dipulihkan dengan cara menyelesaikannya lagi menurut gambar dan rupa Anak Allah (Roma. 8:29).
Sifat dosa yang mencakup semua manusia terdapat dalam seluruh PB, namun uraian yang paling jelas tentang hal ini terdapat dalam surat-surat Paulus. Penekanan pada sifat dosa secara batiniah yang dibedakan dari tindakan secara lahiriah disimpulkan dari diri manusia itulah yang menajiskannya.
Dosa manusia itu ditemukan dalam anekaragam bentuk seperti utang, pelanggaran, kedurhakaan, perhambaan, dosa. Manusia telah memberontak terhadap Allah. Dia tidak menaati hukum Allah. Ia telah membiarkan dirinya menjadi hamba dosa, dan dengan usahanya sendiri Ia tidak dapat melepaskan dirinya dari ikatan itu. Manusia digambarkan sebagai orang yang buta terhadap kemampuan dasarnya, karena dosa telah mengakibatkan manusia tidak memperdulikan Allah dan tidak mempunyai penilaian yang benar terhadap dirinya sendiri.
Adanya hukuman dosa oleh Allah yang adil merupakan titik tolak ajaran PB tentang keselamatan dan hal ini harus dipertimbangkan dalam memahami misi Yesus secara tepat. Memang kebanyakan dari segi-segi dosa tertentu yang digambarkan dalam PB membantu kita untuk mengerti karya Kristus. Jika dosa itu digambarkan sebagai perhambaan, Kristus membawa pembebasan; jika dosa itu sebagai dusta, Kristus memberikan kebenaran; jika dosa itu sebagai penyimpangan dari kehendak Allah, maka Kristus merupakan teladan kebenaran yang sempurna.

IV.       YESUS KRISTUS
a.      Yesus Sebagai Manusia Sejati
Bukti bagi kemanusiaan Yesus telah memperlihatkan dengan jelas bahwa walaupun orang-orang Kristen mula-mula berpegang pada keagungan Tuhan Yesus, namun mereka tidak meragukan bahwa Ia juga benar-benar manusia. Tidak ada kesan dalam PB bahwa Yesus begitu ditinggalkan sehingga percuma untuk membicarakan kemanusiaan-Nya.
Catatan Yohanes, yang menggambarkan Yesus sebagai Yesus sebagai Anak Allah dan juga manusia sejati, menyatakan secara tidak langsung mengenai ketidakbersodaan-Nya. Dalam surat-surat Yohanes terdapat pernyataan yang jelas mengenai ketidakberdosaan Yesus Kristus (“di dalam Dia tidak ada dosa”, 1 Yoh. 3:5). Sesungguhnya Ia datang untuk menghapuskan dosa.
Dalam surat I Yohanes ini juga menggambarkan bahwa pengantara kita pada Bapa adalah “Yesus Kristus yang adil” (1 Yoh. 2:1). Ia benar-benar dibedakan dengan manusia lain, karena “jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri” (1 Yoh. 1:8).
Hal ini dinyatakan khususnya dalam II Korinus 5:21. Dalam ayat ini Paulus mengatakan “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita”.

b.     Makna Teologis Dari Ketidakberdosaan Yesus
Keterangan yang disusun diatas memperlihatkan keyakinan dalam hampir seluruh PB bahwa Yesus tidak berdosa. Luasnya bukti tentang keyakinan ini meniadakan pendapat bahwa kepercayaan akan ketidakberdosaan Yesus merupakan sesuatu yang bertumbuh pada kemudian hari. Keyakinan ini sama sekali tidak akan bertumbuh jika tidak benar-benar berakar dalam bukti sejarah. Sangat mengesankan bahwa tidak ada laporan yang bertentangan dengan keyakinan bahwa Yesus tidak berdosa; hal ini harus diperhitungkan bila menilai pentingnya ajaran ini.
Pentingnya ketidakberdosaan Yesus terletak pada hubungannya dengan inkarnasi. Apapun perdebatan yang muncul selanjutnya mengenai penjelasan ketidakberdosaan Yesus, keyakinan PB adalah jelas: Yesus menjadi manusia sejati dan Dia tidak berdosa.
1.      Mesias
Kata “Mesias” dalam konteks ini berarti tokoh pembebas (penyelamat) yang diharapkan oleh orang-orang Yahudi, yaitu seseorang yang akan menjadi wakil Allah untuk pembentukan suatu zaman baru bagi umat-Nya. Kata “Mesias” berasal dari bahasa Ibrani, dan bahasa Yunani untuk kata itu adalah “Kristus”, kedua istilah ini berasal dari akar kata yang berarti “mengurapi”, dari hal ini terlihat bahwa Yesus dipandang sebagai orang yang secara khusus ditabiskan untuk tugas yang tertentu.
Penyajian kemesiasan tetap memainkan peranan yang penting dalam kitab Injil Yohanes, walaupun konsep Yesus sebagai Anak Allah lebih banyak dibicarakan. Kesan keseluruhan dari kitab Injil ini ialah bahwa Yesus adalah Mesias, bukan dalam arti pandangan umum pada waktu itu, tetapi dalam arti rohani, yang baru yang tidak dapat dimengerti terlepas dari kesadaran Yesus akan kedudukan-Nya sebagai Anak.
Dalam surat-surat Yohanes, gelar Mesias telah diterima dengan tegas. Perpaduan kata Yesus “Yesus Kristus” terdapat dalam I Yohanes 1:3, 2:1; 3:23; 4:2; 5:6; 5:20; II Yohanes 7. Tetapi kesaksian yang paling penting dalam surat I Yohanes ialah mengenai mereka yang menyangkal bahwa Yesus adalah Mesias (2 Yoh. 2:22; 4:3; 2 Yoh.27).
Kata-kata dalam Kisah Para Rasul 2:36 berarti bahwa sejak kematian dan kebangkitan Yesus, Allah telah mengagungkan Dia dan menyatakan Dia bukan hanya sekedar Mesias tetapi Mesias-Tuhan, yaitu Mesias yang dinobatkan, yang dibandingkan dengan Mesias yang menderita. Pada masa Kristen yang mula-mula, pengajaran dan penderitaan dapat diringkaskan dengan tema pemberitaan “Yesus adalah Mesias” (Kis. 5:42). Rasul-rasul menganggap hal ini sebagai misi mereka. Jelas bahwa pandangan mereka tentang Kristus tidak terlepas pada pengertian ini saja, tetapi pengertian ini merupakan dasar.
Hal yang serupa dikatakan dalam pengajaran Filipus di Samaria (Kis. 8:5; 8:12), dan dalam kesaksian Paulus yang pertama di Damsyik (Kis. 9:22). Dalam khotbah Petrus kepada Kornelius ia menyebut Yesus Kristus sebagai Tuhan dari semua orang, juga menyebutkan pengarapan Allah atas Yesus dari Nazaret (Kis. 10:36, 38).

2.      Pentingnya Gelar Mesias
Jemaat PB percaya sekali bahwa Yesus menggenapi pengharapan yang lama akan kedatangan seorang penyelamat. Namun, walaupun Ia menggenapinya, Yesus sangat mengubah pengertian konsep penyelamatan itu. Dalam pengharapan-pengharapan pada waktu itu Mesias sering dianggap sebagai seorang tokoh politik tetapi tidak demikian dengan pengertian orang Kristen mula-mula tentang Yesus. Oleh karena sendiri tidak memakai gelar Mesias. Namun pengenalan orang-orang Kristen akan Dia sebagai Mesias dan latar belakang gelar itu diantara orang Yahudi, bersama-sama berdasar pada kepercayaan bahwa Mesias adalah wakil Allah dan melalui Dialah Allah hadir dalam dunia untuk keselamatan umat-Nya.

3.      Anak Daud
Gelar Anak Daud erat kaitannya dengan gelar Mesias. Gelar itu muncul beberapa kali dalam PB, dan ada petunjuk-petunjuk tambahan bahwa orang-orang Kristen mula-mula mengakui pentingnya asal usul Yesus dari keturunan Daud.
Gagasan tentang Mesias sebagai raja dari keturunan Daud dapat ditelusuri dari janji Allah kepada Daud dalam II Samuel 7:16. “Keluarga dan Kerajaanmu akan kokoh untuk selama-selamanya dihadapanku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya”. Janji ini merupakan dasar dari nubuat para nabi yang berhubungan dengan Kerajaan Mesias, dan menjelaskan bagaimana pengharapan dan kerajaan yang dipulihkan di bawah Mesias dapat dilihat sebagai penggenapan dari janji ilahi kepada Daud.

4.      Hamba
Tiga perikop dalam Kisah Para Rasul yang menggunakan kata hamba sebagai penggambaran Yesus “Kis. 3:13, 26; 4:27-30) nampaknya memperlihatkan bahwa masyarakat Kristen pertama percaya dengan kuat akan kesamaan Yesus dengan Hamba dalam kitab Yesaya itu. Konsep hamba pada hakekatnya bersifat Yahudi dan karena itu sangat cocok dengan penggunaan istilah tersebut oleh orang-orang Kristen Yahudi mula-mula dalam perikop-perikop kitab Kisah Para Rasul ini.
Ada beberapa perikop yang cukup berharga yang memampukan kita untuk menentukan sampai sejauh mana Paulus berpikir tentang Yesus sebagai hamba yang menderita. Ia telah menerima suatu tradisi yang langsung menghubungkan kematian Kristus dengan dosa-dosa manusia (1 Kor. 15:3), yang persis sama benar dengan Hamba yang menderita.
Konsep Hamba yang menderita dengan jelas memainkan peranan yang  penting dalam pengertian kita tentang karya Kristus, tetapi tujuan kita sekarang ialah untuk menemukan fungsinya bagi ajaran tentang pribadi Kristus.


5.      Anak Manusia
Sudah jelas bahwa dalam pikiran Yesus, gelar anak manusia dihubungkan dengan berbagai unsur yang hanya mendapat arti berdasarkan satu anggapan pokok, bahwa Yesus berpikir tentang diri-Nya sebagai Mesias sorgawi yang menggenapi suatu pelayanan di dunia demi manusia, yang akan mencapai puncaknya dalam kemuliaan yang terakhir. Dengan penjelasan ini apalah dimengerti mengapa Yesus tidak menggunakan gelar Mesias untuk menjelaskan misi-Nya, karena pekerjaan-Nya bukanlah bersifat politik melainkan bersifat rohani.
Selanjutnya, mengingat kesukaran yang sudah melekat pada gagasan tentang Mesias yang menderita dalam pemikiran orang-orang zaman itu, dan kesadaran Yesus sendiri bahwa misi rohani-Nya hanya dapat diselesaikan melalui penderitaan dan kematian-Nya.

6.      Tuhan
Sebutan “Tuhan” bagi Yesus Kristus yang terdapat dalam semua kelompok tulisan PB yang berbeda-beda, memberikan sumbangan yang khusus pada ajaran PB secara keseluruhan mengenai pribadi Kristus, dalam hal-hal berikut ini : (1). Istilah “Tuhan”, karena ditampung ke dalam gelar Yesus Kristus yang umum pada masa itu, menyertakan pengertian umum akan kedudukan Yesus yang Agung dan Mulia, (2). Mengingat gelar itu sering digunakan dalam kutipan dari PL, maka mungkin sekali bahwa penggunaan Kurios dalam LXX merupakan kunci pengertian istilah itu pada waktu di pakai untuk Yesus (yaitu sebagai gelar untuk Allah), (3). Dalam penggunaan PB, dampaknya ialah bahwa hal-hal yang dilakukan Allah juga dilakukan oleh Kristus, (4). Ketuhanan berhubungan erat dengan kebangkitan Yesus dan melambangkan kemenangan-Nya atas kematian, (5). PB tidak pernah menganggap bahwa gelar Tuhan tidak cocok bagi Yesus. Juga tidak ada tanda bahwa gagasan ketuhanan dikembangkan hanya pada waktu agama Kristen menyebar dalam lingkungan kebudayaan Yunani. Kristologi PB secara keseluruhan dapat dimengerti lebih baik jika kita mempertahankan bahwa ketuhanan merupakan sesuatu yang mutlak perlu disertakan dalam kepercayaan akan Kristus yang telah bangkit, (6). Dalam penggunaan orang-orang Kristen, gelar itu menyatakan kekuasaan Yesus yang mutlak atas semua segi Iman dan kehidupan. Ia telah menjadi Tuhan dan penguasa dan para pengikut-Nya menjadi budak belian-Nya yang rela.

7.      Anak Allah
Dalam perikop kunci dalam kitab-kitab Injil Sinoptik mengenai kesadaran Yesus akan keberadaan-Nya sebagai Anak Allah (Mat. 11:25-26; Luk. 10:21-22). Perikop ini mirip sekali dengan banyak pernyataan dalam Yohanes, yang menyebabkan perikop ini digambarkan sebagai “halilintar” dari langit cerah Yohanes, perikop ini merupakan penghubung yang paling penting antara kitab-kitab Injil Sinoptik dan Injil Yohanes dalam penyajian mengenai Yesus.
Perikop itu menggabungkan doa Yesus dengan suatu pernyataan-Nya. Doa itu ditujukan kepada Allah sebagai Bapa, dan gelar Bapa disebutkan dua kali. Bapa itu digambarkan sebagai Tuhan langit dan bumi. Unsur-unsur yang paling penting dapat didaftarkan. Pertama-tama, Anak itu diutus oleh Bapa. Hal ini demikian biasa dalam Injil Yohanes sehingga Allah sering disebut sebagai Dia yang mengutus Yesus (Yoh. 3:34; 5:36, 38; 7:29; 11:42). Hal penting yang kedua ialah kasih Bapa bagi Anak. Hal ini dijelaskan dalam Yohanes 5:20, yang menyebutkan bahwa kasih Bapa bagi Anak mendorong Bapa menunjukkan segala sesuatu kepada Anak; dalam Yohanes 3:35, kasih itu menyebabkan Bapa menyerahkan segala sesuatu kepada Anak ; dalam Yohanes 10:17, kasih Bapa diperkuat karena penyerahan nyawa Anak dengan sukarela.
Hal lain yang penting juga ialah ketergantungan Anak kepada Bapa. Dalam Yohanes 5:9 Yesus berkata, “Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya” (Yoh. 5:30) menyatakan, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri….. Aku tidak menuruti kehendak ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”. (Yoh. I4:31; 15:10).
Tema Yesus sebagai Anak Allah khususnya ditekankan dalam surat 1 Yohanes. Pengakuan utama yang diharapkan dari orang-orang percaya ialah bahwa Yesus adalah Anak Allah (1 Yoh. 2:22-23; 3:23; 4:15; 5:5, 10, 12-13). Persekutuan orang-orang percaya adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. (1 Yoh. 1:3). Pengutusan Anak menjadi jelas dalam 1 Yohanes 4:9-10, 14). Penyelamatan Allah diungkapkan dalam kata-kata “darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita daripada segala dosa” (1 Yoh. 1:7). Misi Anak juga digambarkan sebagai suatu kemenangan atas Iblis. (1 Yoh. 3:8). Anaklah yang menjadi perdamaian bagi dosa-dosa kita (1 Yoh. 4:10). Bapalah yang memberi kesaksian tentang Anak (I Yoh. 5:9) bahwa Anak adalah sumber hidup yang kekal (I Yoh. 5:11).







INTERAKSI BACAAN
BUKU TEOLOGI PERJANJIAN BARU 2

I.          MISSI KRISTUS
a.      Kerajaan Allah
Pertama-tama harus diperhatikan bahwa wawasan “Kerajaan” ditemukan beberapa kali dalam PL (Mzm. 103:19; 145:11-13; 1 Taw. 29:11; Mzm. 22:28; Dan. 4:3; Ob. 21). Lagi pula tujuan umum dari pengajaran nabi-nabi sejalan dengan pemikiran tentang suatu kerajaan ilahi, karena Allah dilukiskan sebagai raja, entah atas Israel (Kel. 15:18; Ul. 33:35; Yes. 43:15) atau pun atas seluruh manusia (Yer. 46:18, “Firman Raja yang nama-Nya Tuhan semesta alam”). PL memberi kesan bahwa Kerajaan Allah itu sudah ada dan juga masih akan datang. Memang Allah yang bedaulat memerintah berdasarkan hak-Nya sendiri, tetapi para nabi memandang juga ke depan, pada suatu masa dimana akan menjadinyata kepada semua orang bahwa Allah memerintah di tengah umat-Nya (Yes. 24:23).
Sumbangan Yohanes pembaptis, mengingat peranannya dalam semua kitab Injil sebagai perintis bagi Kerajaan dan bagi Dia yang akan datang itu. Sebagai perintis Ia merupakan penghubung antara masyarakat yang lama dengan yang baru. Dia bukanlah seorang penganut Yudaisme biasa. Kedudukannya pisah dari ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang ia kecam. Amanatnya ialah menyeruhkan pertobatan sehubungan dengan kerajaan yang segera datang itu. Nadanya sangat kuat menekankan penghakiman pemimpin-pemimpin agama adalah keturunan ular beludak, kapak sudah tersedia pada akar pohon dan api yang tidak terpadankan sudah siap (Mat. 3:7-12). Apabila kerajaan itu datang, ia akan membawa serta suatu tantangan moral yang tidak boleh diabaikan. Walaupun demikian, Dia yang akan datang, yang lebih unggul dari Yohanes, juga akan membawa baptisan yang lebih unggul. Sebagai ganti baptisan dengan Air pertobatan dari Yohanes, Dia yang akan Datang itu akan membaptis dengan Roh dan api (Mat. 3:11; Luk. 3:16).
Yesus mengawali pelayanan-Nya dengan memberikan “waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk. 1:14 dst). Hal ini tentu memberi kesan bahwa dengan kedatangan Yesus suatu  peristiwa yang sangat penting akan segera terjadi. Markus mencantumkan pemberitaan itu pada permulaan riwayat pelayanan Yesus, maksudnya jelas bahwa pekerjaan Yesus dilihat sebagai perwujudan dari kerajaan itu.
Dalam ucapan bahagia terdapat banyak kata kerja yang mengarah pada masa depan, suatu hal yang mendukung adanya pandangan masa depan dari kerajaan itu. Dikatakan bahwa orang yang miskin dihadapkan Allahlah yang “empunya kerajaan surga” (Mat. 5:3), yakni pada masa kini, tetapi ucapan bahagia yang lain mengarah ke depan pada penggenapan yang akan datang : yaitu janji akan dihibur, akan memiliki bumi, akan beroleh kemurahan, akan melihat Allah. Walaupun orang-orang yang berbahagia memiliki kerajaan kini, namun ada penggenapan yang lebih penuh pada masa depan.
Doa “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu” memiliki penerapan untuk masa kini maupun masa depan. Jika kerajaan itu sudah sepenuhnya terwujud pada masa itu (dalam kekinian) maka permohonan “Datanglah Kerajaan-Mu” hampir tidak berarti. Dalam Matisu 7:22 Yesus berbicara tentang “hari terakhir” (yakni hari penghukuman pada masa depan) takkala ia membicarakan hal masuk ke dalam kerajaan itu, dan ini menunjuk pada sesuatu yang akan datang. Sama halnya dengan gagasan tentang perjamuan kelak dimana banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak, dan Yakob, akan tetapi “anak-anak kerajaan itu (yakni orang-orang Yahudi) akan dicampakan” (Mat. 8:11; Luk. 13:28-29).
Melihat adanya berbagai gagasan tentang kerajaan yang muncul disepanjang penelitian tentang pokok ini, tidak mengherankan bila tidak muncul pemikiran yang jelas tentang maknanya. Banyak kesulitan yang muncul dalam perdebatan tentang pengajaran mengenai kerajaan diakibatkan oleh adanya anggapan bahwa kerajaan itu harus berarti sesuatu yang tertentu. Penggunaan ungkapan tertentu oleh para ahli, misalnya “pemikiran tentang kerajaan” atau “gagasan tentang kerajaan” telah menguatkan anggapan itu. Tetapi telah disarankan bahwa gagasan “kerajaan” itu lebih baik dimengerti sebagai suatu simbol, bukanlah sekedar suatu pemikiran tunggal. Bila demikian maka artinya tak pernah tetap. Saran ini cukup baik, karena akan memudahkan suatu pengertian tentang “kerajaan” yang cukup luas untuk mencakup semua pokok yang penting dalam pengajaran PB. Pemahaman ini membuat kita mengerti bahwa bukan hanya kehidupan Yesus, melainkan juga kematian-Nya, adalah bagian dari seluruh makna “kerajaan” itu. Singkatnya, makna simbol kerajaan tidak akan pernah dijelaskan secara tuntas. Penjelasan ini mengantar kita pada bagian berikut yang akan membahas arti penderitaan Yesus.

b.     Karya Penyelamatan Kristus I
Karya penyelamatan Kristus I ini merupakan “perjanjian”, karena PB berbicara tentang suatu “perjanjian” yang baru. Dasar tindakan penebusan umat Israel oleh Allah ialah Perjanjian Lama. Gagasan dasar dari suatu perjanjian ialah kesepakatan antara dua pihak yang sederajat, tetapi hal ini tidak demikian bila dipikirkan perjanjian Allah dengan Israel. Tentu, bahwa perjanjian itu ditetapkan berdasarkan suatu tindakan penebusan, menunjukkan bahwa perjanjian itu merupakan tindakan anugerah dari pihak Allah dan bukan anak jasa dari pihak manusia. Perjanjian yang lama dimaterikan dengan darah korban (Kel. 24:3-11).
Tetapi perjanjian ini bukanlah melulu maklumat upacara, karena di dalamnya tercakup tuntutan moral, sebagaimana terungkap misalnya dalam Dasa Titah. Di seluruh perjanjian lama tindakan penebusan Allah demi kepentingan umat-Nya dipuja-puji oleh orang-orang saleh. Tindakan itu menjadi poros bagi seruan pada nabi (Hos. 11:1; 13:4; Yes. 43:14-19; Yeh. 20:5; Mzm. 68; 77; 114; 135; 136). Kasih perjanjian Allah, atau kasih setia-Nya, merupakan kunci kasih Allah terhadap bangsa-Nya.
Walaupun perjanjian yang lama merupakan suatu ketentuan Allah yang sangat mengagumkan bagi umat-Nya, namun dalam PL pun telah dinubuatkan suatu perjanjian yang lebih baik, khususnya dalam Yeremia 31:31. Disini dinubuatkan suatu perjanjian yang bersifat batiniah, yang akan dituliskan dalam hati umat itu. Nats ini memainkan peranan penting dalam pemikiran PB (khususnya Ibr. 8). Pemikiran inilah yang terdapat di belakang petunjuk kepada perjanjian baru dalam penerapan perjamuan kudus. Sifat batiniah dari perjanjian ini menunjuk kepada kewajiban etis dari mereka yang menerimanya. Di bawah perjanjian yang lama orang cenderung mengabaikan tanggungjawab moral mereka, dan para nabi berusaha untuk menerangi kecenderungan itu. Perjanjian yang baru mampu memberikan kuasa yang tidak terdapat dalam perjanjian yang lama, yakni kuasa untuk hidup secara patut dengan keselamatan yang telah disediakan Allah.
Yesus menghampiri kematian sebagai suatu tindakan sukarela. Walaupun Ia memahaminya sadar akan harga yang harus dibayar-Nya tatkala Ia memikulnya. Kematian Yesus dihubungkan langsung dengan penghapusan dosa-dosa. Penderitaan-Nya tak dapat dipahami secara menadai tanpa sepenuhnya mengindahkan hal ini dan tanpa berusaha untuk menjelaskan hal ini. Ada bukti bahwa Yesus mengerti kematian-Nya sebagai sifat mewakili, dalam arti bahwa Ia berbuat sesuatu sebagai ganti orang lain. Selanjutnya kematian Yesus dipandang sebagai suatu korban yang dihubungkan secara istimewa dengan perjanjian yang baru. Dalam arti tertentu kematian itu mensahkan perjanjian yang baru persis seperti darah korban mensahkan perjanjian yang lama. Yesus menganggap diri-Nya sebagai pengganti dalam arti bahwa Ia mengingatkan kepada dan menggenapi apa yang dikatakan dalam Yesaya tentang Hamba yang menderita. Karena penekanan atas kematian ini terdapat dalam konteks pengajaran tentang kerajaan, maka penderitaan Yesus mempunyai aspek eskatologis. Kematian-Nya dipandang sebagai suatu pendahuluan yang perlu bagi perwujudan penuh dari Kerajaan Allah. Kerajaan harus dianggap sebagai suatu persekutuan orang-orang yang ditebus melalui darah Kristus.
Ada tekanan yang kuat atas sifat pengorbanan dari kematian Yesus. Sebagai Anak Domba Allah, roti dari surga dan biji gandum, Yesus harus mengalami kematian sebagai korban. Perlunya kematian Yesus juga sangat ditekankan, teristimewa dalam disebutnya “saat yang penting itu”. Ada unsur penggantian yang pasti dalam nats-nats tentang Anak Domba dan Gembala yang baik, dan dalam ucapan tentang “kasih yang lebih besar”. Dibalik nats-nats tentang Anak Domba dan Gembala yang baik terdapat juga wawasan hamba yang menderita. Nada pemulian dan kekayaan jelas terdapat dalam nats-nats tentang peniggian dan dalam nats tentang kepastian kebangkitan. Yang terlihat sebagai motif bagi kematian Kristus ialah kasih Allah, dan penderitaan diungkapkan sebagai mencakup seluruh dunia. Roti adalah bagi kehidupan dunia, Gembala mencari domba-domba yang bukan hanya dari kawanan orang Yahudi, dan matinya seorang manusia bagi bangsa itu diperluas artinya sehingga menjadi bagi anak-anak Allah yang tercerai-berai di negeri lain itu.
Gagasan penebusan dianggap penting dalam Teologi PB, walaupun itu hanya salah satu aspek dari pekerjaan Kristus. Kita dapat mencatat tiga hal yang tercakup dalam gagasan penebusan ini.
1)      Keadaan yang membutuhkan penebusan. Hal ini dipahami menurut kiasan perhambaan yang pada zaman PB dikenal secara luas. Budak-budak dapat dibebaskan dari belenggu dengan cara pembayaran hingga tukar yang setara.
2)      Tindakan penebusan. PB dengan tegas menghubungkan harga penebusan itu kepada kematian Kristus. Lagi pula, seperti dengan tepat dikatakan oleh Morris, “Harga yang dibayarkan harus setara dengan harga penjualan, maka ini menyiratkan kesetaraan, yakni penggantian.
3)      Terakhir adalah keadaan orang percaya yang tertebus. Mereka dibebaskan dari dosa dan kini menjadi milik Allah.

Dalam hubungan-hubungan pribadi, pendamaian merupakan hal yang amat penting. Karena persekutuan manusia dengan Allah sudah rusak, tidak bisa terdapat damai sejahtera sebelum pendamaian diadakan. Pemahaman yang penuh atas kematian Kristus tidak dapat menghilangkan kebenaran yang ditekankan dalam PB bahwa Allah di dalam Kristus memperdamaikan manusia dengan diri-Nya. Lagi pula, dalam kematian-Nya Ia mendamaikan seluruh alam semesta.

II.        KARYA ROH KUDUS DALAM PELAYANAN YESUS 
Dari fakta-fakta yang telah terungkap dalam buku ini dapat menetapkan ada empat pengamatan sebagai berikut :
1)      Banyak peristiwa-peristiwa besar dalam hidup Yesus secara khas dihubungkan dengan pekerjaan Roh Kudus, termasuk inkarnasi, pembaptisan, pencobaan, pengusiran setan, serta pelayanan penyembuhan dan pemberitaan. Ketergantungan-Nya kepada Roh Kudus mempersiapkan jalan bagi ketergantungan murid-murid-Nya juga kepada Roh Kudus.
2)      Dalam pengajaran-Nya Yesus mempersiapkan murid-murid-Nya kepada zaman Roh yang akan menyusul setelah kematian dan kebangkitan-Nya.
3)      Haruslah diakui bahwa latar belakang utama bagi sajian kitab-kitab Injil Sinoptik tentang pekerjaan Roh ialah PL. Tidak ada alasan untuk menyangkal bahwa Yesus sendiri menyelaraskan pekerjaan dan pengajaran-Nya dengan pernyataan PL, sementara pada waktu yang sama menggenapi secara sempurna dalam pribadi-Nya sendiri bayangan-bayangan pendahuluan yang ada dalam PL.

§  Fungsi-Fungsi Roh
1)      Fungsi utama-Nya ialah memuliakan Kristus (Yoh. 16:14). Roh senantiasa menyangkal diri, tak pernah berbicara berdasarkan kewibawaan-Nya sendiri (ay. 13). Ia tidak mencari kemuliaan sendiri, hanya kemuliaan Kristus. Ini dapat dipakai sebagai alat penguji yang berharga.
2)      Berhubungan erat dengan hal ini ialah fungsi Roh yang memampukan orang-orang percaya untuk beraksi tentang Kristus (Yoh. 15:56). Roh memberi kesaksian tentang Kristus, dan orang-orang percaya melalui Roh yang sama memberi kesaksian tentang Kristus yang sama.
3)      Jemaat harus memberitakan Injil. Karena itu janji bahwa Roh akan diberikan kelak menjadi sangat penting, bukan hanya dalam rangka mengemban kesaksian tentang Kristus, melainkan juga untuk mengingat dan memahami pengajaran-Nya. Dalam hubungan ini (Yoh. 14:26), menjadi istimewa penting: “Dialah (Roh) yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah kukatakan kepadamu”.
4)      Roh Kudus memimpin, teristimewa ke dalam seluruh kebenaran (Yoh. 16:13). Ini mirip dengan janji yang terdahulu, walaupun merupakan perluasannya. “semua kebenaran” mencakup pemahaman yang berkembang tentang arti misi Yesus, makna kematian dan kebangkitan-Nya, dan penerapan Iman yang baru ditetapkan itu ke dalam kehidupan.
5)      Toh masih ada satu lagi aspek pekerjaan Roh dalam memberi pernyataan, yaitu mengenai masa depan (Yoh. 16:13). Ungkapan yang sangat umum, “hal-hal akan datang”, yang akan dinyatakan Roh itu cukup luas untuk mencakup semua pengajaran tenang hal-hal yang terakhir dalam surat-surat dan kitab wahyu.

Layak diingat bahwa setiap tahapan baru dalam perkembangan Kristen dipahami sebagai pekerjaan Roh. Rangkaian kejadian awal pada Hari Pentakosta merupakan contoh paling yang paling jelas, walaupun ada contoh-contoh lain. Pekerjaan-pekerjaan Roh Kudus terlihat dalam pembelaan mula-mula terhadap Injil, ketika Jemaat yang meluas kepada orang-orang bukan Yahudi, ketika dilancarkannya misi ke seluruh dunia.

III.       KEHIDUPAN KRISTEN
Kehidupan kekristenan adalah proses membawakan seseorang ke dalam pengalaman Kristiani. Proses ini mencakup hal berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak hanya sampai disitu. Kita perlu mempertimbangkan sifat dasar pertobatan, hubungan antara pertobatan dan Iman, kelahiran baru dan pengampunan. Dengan demikian kita akan mempelajari permulaan kehidupan Kristen dengan bidang yang cukup luas.
Seseorang masuk ke dalam persekutuan Kristen, dengan memperhatikan penekanan yang konsisten atas pertobatan dan Iman dari pihak manusia dan jaminan pengampunan dari pihak Allah. Pengampunan itu berhubungan baik dengan dosa masa lalu maupun dosa yang terus-menerus. Tetapi kemurahan hati Allah yang tidak pantas diterima oleh orang yang layak dihukum. Jadi istilah itu dipakai untuk mengungkapkan sikap Allah yang menyediakan keselamatan bagi manusia, teristimewa dalam misi Yesus. Anugerah ialah sikap yang Allah perlihatkan, yang pertentangan dengan karya yang manusia lakukan. Anugerah juga mencakup perlengkapan Allah untuk kehidupan Kristen.
Telah diperlihatkan bahwa di seluruh PB disajikan secara konsisten prakarsa Allah dalam keselamatan manusia. Serempak dengan itu semua jelasnya bahwa manusia di panggil untuk memberi sambutan terhadap prakarsa itu. Penulis-penulis PB sudah yakin bahwa Allah tentu akan memenangkan bagi diri-Nya suatu umat yang akan ditampilkan tanpa cacat dihadapan takhta-Nya. Menurut PB, bukan manusia yang menetapkan segala sesuatu. Salah satu kesan kebenaran yang paling dalam dari Teologi PB adalah bahwa Allah penuh anugerah sebagaimana Ia berdaulat. Ini membuat dasar yang kuat bagi kepastian bahwa Ia akan menggenapi maksud-Nya bagi manusia. Upaya memahami wawasan PB tentang anugerah merupakan batu loncatan yang hakiki bagi study tentang pengudusan dan penyempurnaan manusia.
Pengajaran PB tentang pengudusan sebagai berikut. Kepada orang-orang percaya ditetapkan pelbagai cita-cita yang hendak dituju; diantaranya yang paling utama ialah teladan Kristus dan cita-cita saling mengasihi menurut pola kasih Kristus kepada orang percaya. Tujuan itu sangat tinggi, serasa mustahil, tetapi tekanan utama ditekankan pada pertolongan Roh Kudus yang penuh kuasa itu.








KESIMPULAN
Kata mengenal dan tahu adalah mempunyai arti yang berbeda, orang hanya sekedar tahu belum tentu dia mengenal. Itulah sering dialami dalam praktek kehidupan manusia. Demikian pula dalam hal membaca dan mempelajari kebenaran Allah di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kedua kitab perjanjian Allah ini begitu dalam isi kebenarannya dan makna daripada isi kebenaran itu sendiri. Maka dalam tulisan ini saya menyoroti bahwa kita tidak bisa mengklaim bahwa saya seorang ahli PL atau PB hanya sekedar tahu atau karena Sarjana Teologia. Karena ini adalah soal kebenaran Allah, maka orang Kristen pada umumnya dan lebih khususnya mahasiswa teologia ditantang untuk lebih banyak belajar tentang kebenaran Allah itu dan lebih dekat untuk mengenal Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.











DAFTAR PUSTAKA

Guthrle Donald, Teologia Perjanjian Baru I, Allah, Manusia, Kristus, Jakarta; Gunung Mulia, 1996.

Gutrhle Donald, Teologia Perjanjian Baru II, Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan Kristen, Jakarta; Gunung Mulia, 2010.