20 November 2011

Korban Ricuh Kongres Papua Jadi Enam Orang

21 October, 2011

Korban Ricuh Kongres Papua Jadi Enam Orang

Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Papua menyatakan bahwa enam orang menjadi korban tewas dalam ricuh Kongres III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, 19 Oktober 2011 lalu.
Para korban meninggal versi Komnas HAM adalah James Gobay, 25 tahun, Yosaphat Yogi, 28 tahun, Daniel Kadepa (25), Maxsasa Yewi (35), Yakob Samonsabra (53), dan Pilatus Wetipo (40). Untuk korban luka, Ana Adi (40), Miler Hubi (22), dan Matias Maidepa (25). “Ada enam orang dari data terbaru. Kami mendapat ini dari sumber terpercaya,” kata Matius Murib, Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Jumat, 21 Oktober 2011.


Dua korban pertama, Daniel Kadepa dan Maxsasa Yewi, ditemukan Kamis, 20 Oktober 2011, di perbukitan belakang Korem 172 PWY, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura. Di tubuh korban terdapat luka bacok dan tusukan senjata tajam. Pada hari itu juga, korban lain diidentifikasi bernama Yacob Samonsabra.

Tempo
mendapat data bahwa seorang warga tewas, yakni Aza Yeuw, yang disemayamkan di rumah duka di Kampung Waibron, Distrik Sentani Barat, Jayapura. “Nama lain korban tewas yaitu Pilatus, Yosphat, Gobay, dan Wetipo. Korban luka untuk sementara tiga orang,” kata Matius.

Komnas HAM masih mendalami data tersebut, salah satunya dengan mencari penyebab kematian korban. “Ya, kami dapat dari sumber terpercaya. Inti dari semua ini bahwa kongres kemarin telah melahirkan masalah baru bagi penegakan HAM di Papua,” tuturnya.

Polisi secara sengaja telah mengedepankan pendekatan represif terhadap peserta kongres dan menimbulkan korban. “Apakah itu luka atau tewas, atau luka baru kemudian tewas, ya sama saja, karena pendekatan yang dipakai polisi jauh dari prosedur, cara-cara ini yang kita ingin hindari,” katanya.

Komnas HAM menilai jika saja polisi bersabar beberapa saat untuk tidak menembak, tentu akhirnya akan berbeda. “Di luar dari apakah ini makar atau tidak, kami hanya ingin pendekatan represif pada warga harus dihindari. Polisi bisa saja menemui pimpinan kongres secara baik dan menangkap mereka dengan cara yang elegan, bukan main tembak begitu,” katanya.

Para petinggi kongres berjiwa besar untuk menyerahkan diri. Buktinya, tak menunggu lama, Selpius Bobi, ketua panitia kongres berserah pada aparat keamanan dan dipersilakan diperiksa. “Mereka itu tidak akan lari. Kalau polisi lebih menahan diri sedikit saja, korban tewas dari kejadian ini tidak akan ada,” paparnya.

Kongres Papua III mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat. Mata uangnya Golden, lagu kebangsaannya Hai Tanahku Papua, benderanya Bintang Kejora, lambang negara Burung Mambruk, bahasa Vigin, dan pemerintahan daerah dipimpin seorang gubernur. Kongres mengangkat Forkorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, sebagai presiden, dan Edison Waromi sebagai perdana menteri.

Baik Forkorus maupun Waromi kini tengah menjalani pemeriksaan setelah ditetapkan sebagai tersangka melakukan makar. Keduanya melanggar Pasal 110, 106, dan 160 KUHP tentang Makar.

Tersangka lain yang dijerat tuduhan makar yakni August Makbrawen Sananay Kraar dan Dominikus Sirabut, aktivis HAM Papua. Sementara seorang lainnya, Gat Wenda, dijerat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena terbukti membawa senjata tajam.
 
 
Bookmarks
ShareThis

21 October, 2011

Korban Ricuh Kongres Papua Jadi Enam Orang

Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Papua menyatakan bahwa enam orang menjadi korban tewas dalam ricuh Kongres III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, 19 Oktober 2011 lalu.
Para korban meninggal versi Komnas HAM adalah James Gobay, 25 tahun, Yosaphat Yogi, 28 tahun, Daniel Kadepa (25), Maxsasa Yewi (35), Yakob Samonsabra (53), dan Pilatus Wetipo (40). Untuk korban luka, Ana Adi (40), Miler Hubi (22), dan Matias Maidepa (25). “Ada enam orang dari data terbaru. Kami mendapat ini dari sumber terpercaya,” kata Matius Murib, Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Jumat, 21 Oktober 2011.


Dua korban pertama, Daniel Kadepa dan Maxsasa Yewi, ditemukan Kamis, 20 Oktober 2011, di perbukitan belakang Korem 172 PWY, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura. Di tubuh korban terdapat luka bacok dan tusukan senjata tajam. Pada hari itu juga, korban lain diidentifikasi bernama Yacob Samonsabra.

Tempo
mendapat data bahwa seorang warga tewas, yakni Aza Yeuw, yang disemayamkan di rumah duka di Kampung Waibron, Distrik Sentani Barat, Jayapura. “Nama lain korban tewas yaitu Pilatus, Yosphat, Gobay, dan Wetipo. Korban luka untuk sementara tiga orang,” kata Matius.

Komnas HAM masih mendalami data tersebut, salah satunya dengan mencari penyebab kematian korban. “Ya, kami dapat dari sumber terpercaya. Inti dari semua ini bahwa kongres kemarin telah melahirkan masalah baru bagi penegakan HAM di Papua,” tuturnya.

Polisi secara sengaja telah mengedepankan pendekatan represif terhadap peserta kongres dan menimbulkan korban. “Apakah itu luka atau tewas, atau luka baru kemudian tewas, ya sama saja, karena pendekatan yang dipakai polisi jauh dari prosedur, cara-cara ini yang kita ingin hindari,” katanya.

Komnas HAM menilai jika saja polisi bersabar beberapa saat untuk tidak menembak, tentu akhirnya akan berbeda. “Di luar dari apakah ini makar atau tidak, kami hanya ingin pendekatan represif pada warga harus dihindari. Polisi bisa saja menemui pimpinan kongres secara baik dan menangkap mereka dengan cara yang elegan, bukan main tembak begitu,” katanya.

Para petinggi kongres berjiwa besar untuk menyerahkan diri. Buktinya, tak menunggu lama, Selpius Bobi, ketua panitia kongres berserah pada aparat keamanan dan dipersilakan diperiksa. “Mereka itu tidak akan lari. Kalau polisi lebih menahan diri sedikit saja, korban tewas dari kejadian ini tidak akan ada,” paparnya.

Kongres Papua III mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat. Mata uangnya Golden, lagu kebangsaannya Hai Tanahku Papua, benderanya Bintang Kejora, lambang negara Burung Mambruk, bahasa Vigin, dan pemerintahan daerah dipimpin seorang gubernur. Kongres mengangkat Forkorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, sebagai presiden, dan Edison Waromi sebagai perdana menteri.

Baik Forkorus maupun Waromi kini tengah menjalani pemeriksaan setelah ditetapkan sebagai tersangka melakukan makar. Keduanya melanggar Pasal 110, 106, dan 160 KUHP tentang Makar.

Tersangka lain yang dijerat tuduhan makar yakni August Makbrawen Sananay Kraar dan Dominikus Sirabut, aktivis HAM Papua. Sementara seorang lainnya, Gat Wenda, dijerat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena terbukti membawa senjata tajam.
 
 
Bookmarks
ShareThis

Indonesia: Obama Should Press Rights Concerns

Indonesia: Obama Should Press Rights Concerns

 Religious Intolerance, Abuses in Papua Should Top Agenda
 This Published www.hrw.org/news
(Washington, DC) – US President Barack Obama has an important and timely opportunity to raise human rights issues with the Indonesian government when meeting President Susilo Bambang Yudhoyono this week in Indonesia, Human Rights Watch said today in a letter to Obama. He will travel to Bali for the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Summit on November 19, 2011.
The Obama administration’s deepening relationship with Indonesia means being frank about Indonesia’s serious human rights challenges. Indonesian government indifference to mob violence against religious groups and brutality by soldiers against peaceful protesters are good places to start.Elaine Pearson, deputy Asia director at Human Rights Watch.

Obama should address key human rights challenges in Indonesia, including attacks on religious minorities, restrictions on freedom of expression, and the lack of accountability of Indonesian security forces for human rights abuses, especially in the easternmost province of Papua, Human Rights Watch said.
“The Obama administration’s deepening relationship with Indonesia means being frank about Indonesia’s serious human rights challenges,” said Elaine Pearson, deputy Asia director at Human Rights Watch. “Indonesian government indifference to mob violence against religious groups and brutality by soldiers against peaceful protesters are good places to start.”

On his last visit to Indonesia in November 2010, Obama made a point of praising Indonesia’s religious tolerance. However, in the last year, religious violence has become more frequent and deadly as Islamist militants have repeatedly mobilized mobs to attack religious minorities in their homes, places of worship, and community centers.

“Obama needs to temper his past praise of religious tolerance in Indonesia with some tough talk on religious freedom,” Pearson said. “He should press President Yudhoyono to end discriminatory laws and actively protect the country’s religious minorities.”

Human Rights Watch urged Obama to criticize the lack of accountability of security forces for continuing abuses, including extrajudicial killings and torture, in Papua and other areas. He should also raise concerns about Indonesian officials using vague and overbroad laws to prosecute the peaceful expression of political, religious, and other viewsin Papua and the Moluccas Islands. More than 100 activists are behind bars in Indonesia for peaceful acts of free expression. They include the former Papuan civil servant Filep Karma, who was sentenced to 15 years in prison after publicly calling for Papuan independence in December 2004.

“Obama should point out that as long as soldiers who commit torture get a few months in jail while peaceful activists get sentenced for years, Papuans are unlikely to have faith in Indonesian rule,” Pearson said. “He should urge Yudhoyono that to begin to win Papuans’ trust he should unconditionally release all political prisoners.”

Persepsi Masyarakat Pinggiran


Kondisi Masyarakat Papua Era Otsus

100_1503.JPGPERSEPSI MASYARAKAT PINGGIRAN
By
(Eragok Bema Nen)
Perubahan Pembangunan Fisik pada umumnya di Papua saat ini termasuk bisa dibilang It’s OK. Banyak bangunan Toko, Ruko, Rumah  makan dll. Semua secara fisik memang tak diragukan lagi. Misal kabupaten/kota provinsi Papua, dan kabupaten Jayawijaya beberapa waktu terakhir ini. Salut pak Wempi. Beliau benar-benar “GILA berfikir dalam arti positif” or “REVOLUSIONER dalam style of thinking-nya. Sekali lagi SALUTE. Perlu ada dukungan dari para Kadis, kepala Badan dan kepala-kepala seksi maupun siapun berada system kabinetnya mampu menerjemahkan secara hirarkional. Artinya: Orang-orang yang duduk dibawah mampu menerjemahkan pikiran Bupati lalu sampaikan pada kepala-kepala seksi serta aplikasi memenuhi hutang kepada rakyat.
Tetapi sayangnya, semua pembangunan itu hanya berpengaruh pada peningkatkan PAD dan memungkinkan para pedagang atau New Kapitalis(pemilik modal) dari suku luar semakin kaya raya. Maka singkat kata OTSUS menjadi peluang  bagi mereka. Bukan mensejahterakan orang Papua. Ingat walaupun dana Otsus tidak dibagi secara langsung kepada orang pendatang, namun mereka tahu siapa  orang Papua, artinya Para analis dan orang Non Papua yang hidup bertahun-tahun di Papua mengetahui benar sisi kelemahan orang Papua. Orang Papua menganut atau memiliki karakter KONSUMERISME. SIKAP/KARAKTER KONSUMERIS inilah ditangkap oleh para pengusaha non Papua, lalu menguasai pasar bahkan urat nadi ekonominya.
Kalau bisa diatur para pemimpin Papua membangun Home Industri, seperti di Yogya dan Bali. Semua masyarakat dilindungi/diproteksi beragam potensi usahanya. Bersaing secara sehat. Dari semua itu pak Bupati Jayawijaya perlu memberikan jaminan ekonomi dalam pasar local maupun nasional kepada masyarakat Papua-Jayawijaya. Salah satu kasus jual kayu api maupun buah pinang serta sayur mayor dilakukan oleh orang Pendatang sambil menjual barang di Ruko, atau Toko yang berskala besar. Kalau begini bagimana Papua atau Wamena bisa bangkit.
Maka benarlah tergenapi judul bukunya Sendius Wonda, Tenggelamnya Etnis Melanesia. Mereka tenggelam dari sisi ekonomi. Ekonomi mereka dibawah atau berada posisi di kwadran III, jika dilihat dari analisis system sumbu koordinat. Analisis SWOT telah memberikan konklusi seperti itu, sangat dikwatirkan Papua ini bisa bangkit seperti yang diiharapkan oleh para pemilikya bahkan orang Luar yang terinspirasi dengan keindahan di Papua. Papua is my land and PapuA is my heritage.

100_1503.JPGPERSEPSI MASYARAKAT PINGGIRAN
By
(Eragok Bema Nen)
Perubahan Pembangunan Fisik pada umumnya di Papua saat ini termasuk bisa dibilang It’s OK. Banyak bangunan Toko, Ruko, Rumah  makan dll. Semua secara fisik memang tak diragukan lagi. Misal kabupaten/kota provinsi Papua, dan kabupaten Jayawijaya beberapa waktu terakhir ini. Salut pak Wempi. Beliau benar-benar “GILA berfikir dalam arti positif” or “REVOLUSIONER dalam style of thinking-nya. Sekali lagi SALUTE. Perlu ada dukungan dari para Kadis, kepala Badan dan kepala-kepala seksi maupun siapun berada system kabinetnya mampu menerjemahkan secara hirarkional. Artinya: Orang-orang yang duduk dibawah mampu menerjemahkan pikiran Bupati lalu sampaikan pada kepala-kepala seksi serta aplikasi memenuhi hutang kepada rakyat.
Tetapi sayangnya, semua pembangunan itu hanya berpengaruh pada peningkatkan PAD dan memungkinkan para pedagang atau New Kapitalis(pemilik modal) dari suku luar semakin kaya raya. Maka singkat kata OTSUS menjadi peluang  bagi mereka. Bukan mensejahterakan orang Papua. Ingat walaupun dana Otsus tidak dibagi secara langsung kepada orang pendatang, namun mereka tahu siapa  orang Papua, artinya Para analis dan orang Non Papua yang hidup bertahun-tahun di Papua mengetahui benar sisi kelemahan orang Papua. Orang Papua menganut atau memiliki karakter KONSUMERISME. SIKAP/KARAKTER KONSUMERIS inilah ditangkap oleh para pengusaha non Papua, lalu menguasai pasar bahkan urat nadi ekonominya.
Kalau bisa diatur para pemimpin Papua membangun Home Industri, seperti di Yogya dan Bali. Semua masyarakat dilindungi/diproteksi beragam potensi usahanya. Bersaing secara sehat. Dari semua itu pak Bupati Jayawijaya perlu memberikan jaminan ekonomi dalam pasar local maupun nasional kepada masyarakat Papua-Jayawijaya. Salah satu kasus jual kayu api maupun buah pinang serta sayur mayor dilakukan oleh orang Pendatang sambil menjual barang di Ruko, atau Toko yang berskala besar. Kalau begini bagimana Papua atau Wamena bisa bangkit.
Maka benarlah tergenapi judul bukunya Sendius Wonda, Tenggelamnya Etnis Melanesia. Mereka tenggelam dari sisi ekonomi. Ekonomi mereka dibawah atau berada posisi di kwadran III, jika dilihat dari analisis system sumbu koordinat. Analisis SWOT telah memberikan konklusi seperti itu, sangat dikwatirkan Papua ini bisa bangkit seperti yang diiharapkan oleh para pemilikya bahkan orang Luar yang terinspirasi dengan keindahan di Papua. Papua is my land and PapuA is my heritage.

Brimob Papua Kembali Menewaskan 8 Warga Sipil

15 November, 2011

Brimob Papua Kembali Menewaskan 8 Warga Sipil

"Please advocacy and independent investigation access is limited and difficult to enter the scene"


JUBI --- Warga Sipil Papua kembali ditembak oleh Anggota Brimob di Degeuwo, lokasi tambang  emas secara  tradisional, Kabupaten Paniai, Papua.  “Kejadian ini terjadi tanggal 13 November hari minggu,” ungkap Servius  Kedepa, seorang aktivis lembag swadaya masyarakat (LSM) lokal, Selasa (15/11). 

Jelasnya, peristiwa tersebut terjadi sekitar jam 10.00pagi waktu setempat, pada hari Minggu (13/11) lalu. “Mereka yang ditembak dan tewas ditempat adalah ada 8 orang. Yaitu Matias Tenouye (30 thn), peluruh menembus paha kanan. Simon Adii ( 35 thn) peluruh menembus rusuk dan tali perut keluar. Petrus Gobay (40 thn), peluruh masuk dada dan tembus ke belakang. Yoel Ogetay (30 thn), otak kecil keluar di bagian depan. Benyamin Gobay(25 thn), kena bagian dada dan peluru keluar di bagian belakang. Marius Maday (35 thn), peluruh mengenai dada dan keluar di belakang. Matias Anoka (40thn), peluruh kena dada dan keluar di belakang. Yus Pigome (50 thn), peluruh mengenai dada dan keluar di belakang,” tulis Kedepa,
dalam pesan singkat kepada www.tabloidjubi.com, Selasa.


Dia mengatakan, para korban ditembak dengan alasan tidak jelas. “Alasan aparat Brimob tidak jelas, tapi mereka (para korban-red) ditembak ketika sedang mendulang emas di Kali Degeuwo,” ucapnya. Akibat penembakan Aparat militer terhadap warga sipil tersebut, warga sekitarnnya telah mengungsi ke lokasi aman dan nayaman menurut mereka.
Sehari sebelumnya, Sabtu (12/11), di wilayah Paniai telah terjadi penambahan pasukan militerTNI/POLRI dari luar Kabupaten, yakni dari Timika, Kabupaten Mimika.  Jumlah pasukan yang telah ditambahkan tersebut, 17 atau 18 kali penerbangan pesawat swasta, berjenis twin otter, yakni milik Maskapai Penerbangan Trigana Air. (JUBI/Almer Pits)

Represif dan brutal Aparat TNI / POLRI membubarkan kongres rakyat papua III

19 October, 2011

Represif dan brutal Aparat TNI / POLRI membubarkan kongres rakyat papua III

Pimpinan dan 300 orang Peserta Kongres Rakyat Papua Ditangkap
Forkorus Yaboisembut,S.Pd (Presiden
JAYAPURA - Aparat gabungan dari TNI/Polri terpaksa membubarkan Kongres Rakyat Papua (KRP) III yang berlangsung di lapangan sepak bola Zakheus Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura, Papua, Rabu (19/10) sekitar pukul 15.30 WIT.
Pembubaran paksa oleh aparat gabungan tersebut setelah KRP III itu menghasilkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam bentuk deklarasi negara baru yaitu Federasi Papua Barat, bahkan telah menyusun pemerintahan dengan menunjuk Forkorus Yaboisembut,S.Pd sebagai Presiden dan Edison Waromy, SH sebagai Perdana Menteri.

 Sebelum dibubarkan, pelaksanaan KRP III berlangsung aman dan tertib. Dalam pelaksanaan tersebut terjadi proses negosiasi pemilihan presiden dan perdana menteri. Setelah kesepakatan disetujui, maka sejumlah pernyataan sikap lewat deklarasi akhirnya diumumkan dan menyatakan Forkorus Yaboisembut, S.Pd sebagai Presiden dan Edison Waromy, SH sebagai Perdana Menteri.

Selfius Bobii selaku Ketua Panitia KRP III dalam keterangan persnya mengatakan bahwa rakyat Papua melalui KRP III telah mendeklarasikan kembali deklarasi yang pernah dinyatakan oleh Komite Nasional Papua tanggal 19 Oktober 1961.

Anggota PETAPA di interogasi
 "Jadi tepat saat ini genap 50 tahun bangsa Papua mengembara dan hari ini bangsa Papua menyatakan kami mau mengembalikan surga dunia yang hilang, bahkan kami ingin mengembalikan kedamaian yang pernah hilang," jelasnya.
Ditegaskannya, komitmen bangsa Papua sudah bulat saat ini dan rakyat sendiri yang membiayai sendiri dari kampung-kampung. "KRP III ini adalah murni dibiayai oleh rakyat sendiri, dengan demikian keputusan yang keluar hari ini adalah murni rakyat bangsa Papua oleh karena itu melalui KRP III menyatakan bahwa hari ini (kemarin,red) kami telah berdaulat," koarnya.
Dalam upaya itu, pihaknya akan menempuh jalur politik dan jalur hukum. Untuk itu, melalui KRP III pihaknya akan merekomendasikan International Perlementarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP) untuk mengawal proses ini di dunia internasional.
Selain itu, pihaknya juga akan mendaftarkan komisi dekolonikasi supaya proses ini berjalan dan dalam dua tahun ke depan PBB mengakui kedaulatan bangsa Papua. Bahkan pihaknya juga meminta kepada pihak-pihak internasional dan negara netral bahwa bangsa Papua telah siap berunding.
Oleh karena itu, semua pihak termasuk TNI/Polri, TPN-OPM menahan diri karena negara baru dikembalikan yaitu negara bangsa Papua siap untuk bernegosiasi, sehingga pihaknya meminta kepada Amerika Serikat dan negara netral untuk memediasi karena pihaknya telah siap berunding.
Peserta KRP III di tangkap dan di interogasi
 Ditanya soal tindak lanjut dari deklarasi keputusan hasil KRP III, Selfius Bobii menambahkan, tentunya secara resmi pihaknya akan menyerahkan kepada Pemerintah Indonesia kemudian ke dunia internasional supaya proses hukum bisa berjalan melalui gugatan aneksasi dan proses hukum.
Sementara Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut,S.Pd mengungkapkan bahwa kegiatan ini adalah kelanjutan proses KRP I dan II, bahkan ini genap 50 tahun emas pelaksanaan KRP III.
Diakuinya, perbedaan pada KRP I hanya mengeluarkan manifes kebangsaan, sementara untuk KRP II hanya beberapa rekomendasi dan agenda, sedangkan yang terjadi di KRP III memutuskan kelengkapan negara Papua yang belum pernah diputuskan pada KRP I dan II.
Peserta kogres
 "Hari ini kami nyatakan mengambil kembali kedaulatan yang dianeksasi secara sah dan defacto. Yang terjadi tahun ini ada konstitusi yang sudah disahkan dan perangkat negara federal bangsa Papua Barat, kemudian ada pemerintahan, mata uangnya dan deklarasi yang disahkan," katanya yang diangkat sebagai presiden lewat KRP III ini.
Selanjutnya untuk proses ke depan, pihaknya tidak akan menabrak tembok dan akan menempuh proses hukum, oleh karena itu akan diadakan rekomendasi kepada ILWP dan IPWP sebagai advokat independen untuk mengadvokasi ke negera-negara pendukung.
Selain itu, pihaknya akan mengedepankan dialog atau perundingan dengan Indonesia sehingga pihaknya menginginkan kerjasama yang baik sebagai negara merdeka dan berdaulat. "Kita akan membangun kerjasama yang baik sebagai dua negara merdeka dan berdaulat," tukasnya.
Senada dengan itu, Edison Waromy, SH menjelaskan, berkenaan dengan lahirnya negara baru, maka Indonesia telah memberikan ruang gerak di Papua. Selain itu, dengan adanya hasil KRP III ini merupakan kemenangan dari demokrasi di Papua dan Indonesa, karena ruang demokrasi dibuka. "Jakarta jangan menganggap kami sebagai separatis tapi adalah sebuah bangsa dan negara yang sejajar karena syarat berdiri negara adalah adanya pemerintahan," ucapnya.
Aparat TNI siaga mengempung lokasi kogres
 Sementara itu, Kapolres Jayapura Kota, AKBP. H. Imam Setiawan,SIK menjelaskan bahwa pembubaran paksa KRP III dan penangkapan tokoh maupun peserta KRP itu itu karena KRP tersebut sebagai proses pelanggaran hukum yang mengakui adanya negara di atas negara sah.

"Yang ditangkap antara lain Forkorus Yaboisembut (presiden), Edison Waromy (perdana menteri), Selfius Bobii (ketua panitia), Dominikus Surabut dan 300 orang peserta," paparnya.
Aparat militer (TNI/POLRI) malakukan pembubaran ditambah penangkapan sejumlah orang hingga 300 orang lebih," tegasnya.
2 Mayat warga di angkut
 Pada aksi brutal ini dua orang warga papua ditemukan telah tewas diduga terkena sebanyak  butir peluru tajam polisi saat pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Sepak Bola Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Rabu, 19 Oktober 2011.
Korban atas nama Melkias Kadepa ditemukan sekitar pukul 16.00 WIT sore di perkebunan belakang Markas Komando Resor Militer Jayapura sekitar 300 meter dari lakasi kogres. “Korban laki-laki dewasa. Dia meninggal diduga ditembak
Mayat tersebut telah ditaruh dalam mobil mayat dengan nomer polisi DS 5665 ACP ada pukul 10.45 WIT kembali  mayat seorang warga ditemukan, hanya memakai celana dalam, sedangkan baju biru ditemukan tak jauh dari posisi  mayatnya. Mayat tersebut juga dimasukkan ke dalam mobil yang sama.

Sementara puluhan orang masih mengungsi di hutan belakang Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur, Padang Bulan,” kata Matius Murib, Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Kamis, 20 Oktober 2011.
Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) papua menyesalkan pendekatan represif kepolisian yang membubarkan kongres dan menimbulkan korban. “Polisi tidak menggunakan pendekatan persuasif dan dialogis, sengaja memilih jalan kekerasan. Presiden SBY harus segera membuka ruang dialog pada masyarakat Papua,” ujarnya.
Militer siap membubarkan krp III
Kongres tersebut mendeklarasikan Negara Demokratik Papua Barat. Presiden masa transisi adalah Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yeboisembut, dan Perdana Menteri Edison Waromi. Keduanya orang pertama yang ditangkap polisi usai penutupan Kongres Rakyat Papua III dari 17 hingga 19 Oktober 2011 di Padang Bulan, Abepura.
“Forkorus sempat bersembunyi di Biara Fransiskan. Saat polisi menutup arena kongres, ia lari bersama Dominukus Sirabut dan beberapa orang pasukan Penjaga Tanah Papua. Polisi menyisir area dan mendapatnya. Dia langsung dipukul dan diseret ke tengah lapangan kongres,” kata saksi, AR, seorang biarawan di Biara Fransiskan.

Di lapangan, Forkorus dimaki-maki polisi. Beberapa saat setelah itu, ia dinaikkan ke truk polisi. “Jadi, bukan mau naik mobil baru dia ditangkap, tapi Forkorus ditangkap saat bersembunyi di Biara Fransiskan dengan beberapa Petapa yang melindunginya. Polisi bilang, ini ya Presiden Papua, bodoh kamu,” kata saksi lain, AH.

Pemukulan terhadap peserta kongres selang beberapa menit setelah upacara penutupan di Lapangan Sepak Bola Zakeus. Saat menari dan bersalam-salaman, polisi menyeruduk masuk dan memukul dengan rotan. “Ada juga yang diinjak. Saya kurang tahu alasan mengapa polisi masuk dan memukul,” kata Tonggap, aktivis Papua.

Komnas HAM sudah jauh hari memperingatkan polisi untuk tidak menempuh jalan kekerasan dalam membubarkan kongres. “Tapi tetap saja ada alasannya. Ini bentuk kesengajaan. Mengapa tidak dari hari pertama saja saat pengibaran Bintang Kejora mereka ditangkap? Kenapa menunggu sampai hari terakhir hingga ada korban?” ujar Murib.
By, Turius wenda

17 November, 2011

Hasrat Referendum Untuk Papua Merdeka

Prof.Ikrar Nusa Bhakti
Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
Diberikannya referendum bagi Timor Timur (Kini Timor Leste) untuk menentukan nasib sendiri apakah akan tetap berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ataukah memilih berpisah pada 1999, telah memberi inspirasi bagi sebagian orang Papua (dan Aceh) untuk juga diberikan hak yang sama.
Bagi orang Papua, kalau Timor Timur yang jumlah penduduk dan geografisnya jauh lebih kecil dan lebih miskin dari Papua saja bisa merdeka, mengapa Papua tidak? Sementara di sebelah timur Papua, yakni Papua Niugini (PNG) yang sama-sama berumpun Melanesia dengan Orang Papua, sudah menjadi negara merdeka diberikan oleh Australia sejak 16 September 1975.
Ketika UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua diberlakukan sejak 2002, orang Papua pun terbelah antara yang memilih jalur O (Otonomi) dan jalur M (Merdeka). Bagi sebagian elite Papua yang memilih jalur M, merdeka bukanlah suatu yang perlu dipersiapkan. Segalanya bisa diatasi begitu mereka merdeka.

Bagi mereka, merdeka berarti mereka dapat menikmati alam kebebasan dari tindakan aparat TNI atau Polri yang kadang luar biasa tidak manusiawinya terhadap orang-orang Papua. Ada juga yang melihat bahwa merdeka berarti mereka tidak perlu bekerja. Merdeka juga berarti bahwa pemerintah harus memberikan segalanya kepada rakyat termasuk membangun dan memelihara rumah bagi rakyat.
Kemerdekaan memang dipersepsikan macam-macam oleh orang Papua, baik mereka yang berpikir secara sederhana maupun yang sudah berpikir secara komprehensif dan rumit.
Bagi mereka yang memilih jalur O, kemerdekaan Papua bukanlah sesuatu yang mudah. Selama ini mereka juga sudah menyatu di alam kemerdekaan bersama Indonesia. Kini tinggal bagaimana mereka secara bersama mengisi kemerdekaan dalam bingkai NKRI. Tapi pada saat yang sama mereka juga sangat kritis pada aparat keamanan yang bertindak sewenang-wenang terhadap sesama saudara sebangsa dan setanah air asal Papua.
Dalam konteks ini mereka juga masih ingat akan kata-kata Marcus Kaisiepo, anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) asal Biak yang menulis di majalah Penjoeloeh (Penyuluh) edisi September 1945 yang diterbitkan para Eks-Digulis (Tahanan Politik Indonesia yang dibuang Belanda di Boven Digul) di Brisbane, Australia yang antara lain berbunyi: “Sekarang adalah zaman kemerdekaan. Orang Indonesia dan Orang Papua adalah Saudara. Orang Indonesia jangan menguasai jabatan dan kedudukan. Jangan pula menguasai kekayaan di Papua. Selama persoalan-persoalan tersebut masih ada, antara orang Indonesia dan orang Papua akan selalu ada persoalan.” Kalimat itu masih dapat kita baca di buku karya almarhum A. Mampioper, Jayapura Dalam Perang Pasifik.
Gerakan Papua Merdeka sejak Mei 1998 telah berubah dari pendekatan sporadik para militer yang menyerang pos-pos ABRI dan Polisi, menjadi suatu gerakan politik. Awalnya mereka ikut dalam Jakarta Informal Meeting (JIM) di kantor Wakil Presiden RI pada November 1998 yang difasilitasi Sekretariat Negara.
Kelompok elite Papua dikoordinasi oleh Willy Mandowen, dosen bahasa Inggris di FKIP-Universitas Cendrawasih dalam suatu organisasi bernama Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian (FORERI).
Singkat kata, para elite politik, budaya dan agama asal Papua yang bernama Tim 100 pimpinan Tom Beanal, bertemu Presiden B.J. Habibie pada Februari 1999. Pada pertemuan itu mereka menyatakan Papua ingin menarik diri dari Republik Indonesia.
Mereka juga tidak mengganggu NKRI karena toh setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, NKRI juga tidak mengalami gejolak. Sikap keras mereka ini yang kemudian membuat pemerintah pusat di Jakarta merasa enggan berdialog lagi dengan para elite Papua.
Dulu, gerakan Papua Merdeka mendapatkan simpati dari negara-negara berumpun Melanesia (PNG, Vanuatu, Fiji, Solomon Islands) yang tergabung dalam Melanesian Sperhead Group (MSG) ditambah Nauru yang masuk wilayah Polinesia. Mereka juga didukung kelompok gereja seperti Melanesian Council of Churches dan Australian Council of Churches. Kini dukungan itu semakin kecil.
Dukungan kini malah datang dari gereja di AS, International Lawyers for West Papua, International Parliament for West Papua yang mengadakan seminar kecil di Oxford pada 2 Agustus 2011 bertajuk “Papua: Road to Freedom.”
Mereka juga menggunakan jaringan East Timor and Indonesia Alert Network (ETAN) yang dulu membantu kemerdekaan Timor Timur. Tapi di Australia kini semakin kecil dukungan terhadap Papua merdeka. Sebagai negara, Australia juga terikat Traktat Lombok yang ditandatangani dengan Indonesia pada 13 Oktober 2006.
Prinsip utama dari perjanjian keamanan itu adalah “Kedua negara tidak boleh membantu atau memberikan tempat di wilayahnya untuk mendukung gerakan-gerakan separatisme yang ada di kedua negara.”
Hingga kini tidak ada negara yang terang-terangan mendukung Papua Merdeka. Tapi, bila kebrutalan TNI dan Polri terhadap orang-orang Papua semakin menjadi-jadi, bukan mustahil negara-negara barat seperti AS, negara-negara Eropa Barat dan Australia menerapkan Humanitarian Intervention untuk membantu kemerdekaan Papua.
Atas nama Responsibility to Protect bisa saja Barat mendukung kemerdekaan Papua, seperti halnya mereka mendukung kemerdekaan Kosovo.