18 November 2012

Octovianus Mote @Yermias

Melbourne, MAJALAH  SELANGKAH – Publik Forum bertopik “The Prospects for Peace in West Papua” digelar di Ruang C902  Universitas Victoria 300 Flinders Street Melbourne, Australia, Rabu, (7/8). Publik Forum difasilitasi oleh Community Identity Displacement Research Network (CIDRN), Victoria University.
Community Identity Displacement Research Network mengundang Octovianus Mote. Ia adalah salah satu dari  lima orang negosiator yang ditunjuk oleh rakyat Papua pada Konferensi Perdamaian di Tanah Papua (KPP) pada 5-7 Juli 2011 lalu. Mereka juga mengundang Septer Manufandu, aktivis Forum Kerja Sama (Foker) LSM yang membawahi lebih dari 64 LSM di Papua. Septer Manufandu berhalangan hadir.
Diketahui, Octovianus Mote ditetapkan oleh rakyat Papua sebagai salah satu Juru Runding (Negosiator)  bersama empat orang lainnya. Keempat orang yang lain adalah  Rex Rumakiek (di Australia), DR. John Otto Ondawame (di Australia), Benny Wenda (di Inggris), dan Leoni Tanggahma (di Belanda). Mereka ditetapkan berdasarkan 17 macam kriteria.
Kriteria dimaksud antara lain adalah harus mampu menggunakan bahasa Inggris standar (speaking, listening, reading and writing), memiliki kemampuan diplomasi dan bernegosiasi (bersertifikat), memahami proses  sejarah perjuangan Papua,  juru runding bukan pemimpin, tapi mendapat mandat dari pemimpin serta ada beberapa kriteria yang khusus dan penting.
Pantauan media ini, Forum Publik di Universitas Victoria dibuka secara resmi oleh Dr. Richard Chauvel pukul 18.00 Waktu Melborne,  Australia. Dr. Richard, Senior Lecturer, School of Social Sciences and Psychology, Universitas Victoria di Melbourne. Dr. Ricard adalah peneliti asing  yang menghadiri KPP pada 5-7 Juli 2011 di Jayapura Papua.

University of Victoria @Ist

Tampak hadir Prof. Dr. Damian Kingsbury dari Deakin University Australia. Ia adalah penasiht ahli yang memfasilitasi perundingan GAM dan RI. Hadir pula dalam forum itu, Annie Feith. Ia adalah bekerja di Community Development, Universitas Victoria, Melbourne. Ia adalah seorang peneliti. Annie membuat Tesis seputar “Perempuan dan Kekerasan di Papua Barat”. Beberapa karya Annie bisa diakses di website insideindonesia.
Mahasiswa dari Universitas Victoria dan beberapa kampus di Melbourne serta aktivis LSM  ikut hadir. Beberapa dari 43 orang warga Papua pencari suaka politik pada Januari 2006 ikut hadir, diantaranya, Papuana  Mote, Adolf Mora dan beberapa lainnya. Hadir juga, aktivis HAM Papua, Paula Makabory. Paula meninggalkan Papua dan pergi ke Australia dan menetap Melbourne setelah ia merasa diamati dan kejar-kejar militer Indonesia di Papua.
Mengawali Forum Publik, Dr. Richard Chauvel memaparkan, lebih dari 40 tahun, rakyat Papua Barat di Indonesia bergumul dengan banyak masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Mereka mengalami masalah pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, pelanggaran hak asasi manusia yang sangat besar, “human security”, stigmatisasi politik-sosial-kultural,  dan mereka dicap pemabuk, bodok, dan berkulit hitam. Juga, kebebasan ekspresi politik mereka saat ini dikriminalisasi oleh aparat militer Indonesia.
Ia menjelaskan, kondisi ini dialami rakyat Papua dalam waktu yang sangat lama. Belum ada tanda untuk sesuatu jalan keluar yang baik, positif, damai, dan tanpa kekerasan. Tuntutan keadilan dan pembebasan dianggap tindakan separatis dan melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, kata dia, Octovianus Mote adalah salah satu orang yang diamanatkan oleh rakyat Papua sebagai negosiator untuk Dialog Damai antara Rakyat Papua dan Indonesia di waktu mendatang. Ia datang dari Amerika ke Australia untuk memberikan gambaran tentang upaya penyelesaian konflik Papua dengan jalan dialog.
Octovianus Mote, fellow di Yale University, Amerika Serikat ini mengatakan, dialog Jakarta-Papua merupakan sarana terbaik untuk mencari solusi tepat, penyelesaian konflik yang terjadi di Papua. Kita semua bertekad untuk mencari solusi atas berbagai masalah politik, keamananan, hukum dan HAM, ekonomi dan lingkungan hidup serta sosial budaya di Tanah Papua melalui suatu dialog.
Ketika ditanya, Mote mengatakan, Dialog Papua-Indonesia diharapkan dapat menjadi sebuah tawaran solusi yang paling baik, damai, adil dan bermartabat. Ia sebagai media dalam upaya mencari solusi atas berbagai permasalahan mendasar, termasuk konflik berkepanjangan yang senantiasa menimbulkan aksi-aksi kekerasan di atasn Tanah Papua akhir-akhir ini.
“Dalam dialog kita tidak bicara ‘Papua Merdeka’ atau ‘Indonesia Harga Mati’. Kita akan cari titik persamaan. Kita berangkat dari titik yang sama. Kita sama-sama mau Papua damai. Kita harus cari cara yang menang-menang. Catatan dari pada keinginan dua belah pihak itu akan dibicarakan,”kata Mote.
Mote mengatakan keyakinannya pada pemerintah untuk menggelar dialog damai antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. “Rakyat Papua masih konsisten dengan amanat Kongres tahun 2001. Maka, kami tetap percaya Indonesia akan menggelar dialog,”katanya.
Keyakinan Mote didasarkan atas beberapa alasan. Alasan pertama, kata dia, Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat tahu dan sangat menghargai dialog. Kedua, Idnonesia punya pengalaman menyelesaikan konflik di Aceh dan Timor Leste. Ketiga, Indonesia juga terkenal di Asia Tenggara dalam perannya mediasi dalam masalah konflik, seperti di Bangsa Moro, Malaysia, Thailand. Keempat, Indonesia punya peresiden sudah serius. Ia sudah tegaskan wakil presiden.
Selain itu, Mote mengatakan, selama ia menjadi Wartawan Harian Kompas, ia melihat rakyat Indonesia adalah bangsa yang cinta damai. Dukungan datang juga dari LSM-LSM di Indonesia. Kata dia, secara  internasional, masalah Papua tidak akan berlalu. “Banyak negara sudah mendukung proses dialog  dan mengkritik pemerintah Australia yang dianggapnya tidak mengakui  fakta,”kata dia kepada wartawan.
“Saya datang dari Amerika ke Melbourne dan Sydney dan Canberra untuk mencari dukungan dari berbagai pihak di luar negeri untuk memberikan suatu penguatan kepada presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bahwa dialog itu amat penting. Ini bukan untuk rakyat Papua saja, tapi untuk menunjukkan bangsa kita adalah negara yang demokratis,”kata Mote.
Ia menambahkan, Sultan di Yogyakarta telah mendukung Dialog. “Beliau mengatakan, Papua itu sebuah wilayah zaman kolonial Belanda maka harus dialog,”kata Mote menirukan kata-kata Sultan Yogyakarta.
Ketika ditanya soal rencana Jakarta untuk dialog dengan Pemerintah Provinsi, DPRP, dan MRP, Mote mengatakan, tugas negara adalah bicara dengan birokrasi di sana. “Apap pun yang Jakarta mau bicara dengan birokrat itu silakan saja. Itu tugas negara untuk bicara dengan dia punya aparat. Jika itu bicara dalam konteks urusan negara dalam konteks membangun. Kalau masalah Papua, rakyat Papua masih konsisten untuk bicara dialog,” kata dia.
“Kalau mereka (Jakarta) mau dialog dengan mereka punya orang-orang yang silakan. Tapi, itu bukan dialog  yang dimaksud oleh rakyat Papua Barat. Yang masalah itu bukan pemerintah, LSM, dan Gereja tetapi yang punya masalah adalah rakyat. Maka, rakyat bilang kami mau Indonesia bicara dengan kami punya lima orang,” katanya tegas.
Ketika ditanya soal tanggapan pemerintah Amerika Serikat  dan PBB soal dialog ini, Mote mengatakan, evaluasi periodik PBB  sudah disebutkan bahwa Papua sudah menjadi agenda utama. “Indonesia mengatakan mau pakai istilah sendiri soal masyarakat asli. Jika, Indonesia mau diakui sebagai negara demokrasi di dunia, maka harus selesaikan PR, masalah Papua.” Mengenai sikap Obama yang terpilih kembali, Mote berharap Obama akan melakukan hal-hal yang sesuai dengan kata-katanya. “Kami yakin, Obama akan lakukan sesuatu sesaui dengan kata-kata. Kemudian, siapa pun menteri Luar Negeri USA dia selalu mendorong menyelesaikan soal Papua melalui dialog.

Konflik terus berlanjut @Ist
“Kamu tidak bisa membunuh manusia seenaknya dengan alasan kedaulatan,” kata Mote menirukan kata-kata Obama. Jadi, katanya, Orang Papua  dibunuh karena mebela tanah dan hak-hak adat mereka.

Tampak, diskusi menjadi lebih hangat dan menarik karena banyak pertanyaan dan pandangan disampaikan oleh para akademisi, mahasiswa dan aktivias. Lebih banyak adalah informatif dan memberikan bobok pada pemaparan yang disampaikan Octovianus Mote.
Prof. Damian mengatakan mendukung seluruh penjelasan. Tetapi, ia mengatakan Demiliterisasi tidak mungkin saat ini. Karena dalam Peta politik itu memerlukan untuk jaga kesatuan bangsa, perang, dan lainnya. Jadi, ada faktor dalam negeri dan luar negeri. Menjawan pernyaan ini, Mote mengatakan di Papua saat ini ada militer tetapi sekarang lebih banyak Polisi. Jadi, kata dia, pilisitisasi. (Yermias Degei/MS

AS Pertanyakan Mekanisme Peliputan Pers di Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on 11/6/12 | 5:00 PM

Jayapura, Seruu.com/news - Atase pers dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, Troy E. Pederson, mempertanyakan sulitnya akses bagi wartawan internasional, termasuk dari Amerika, untuk meliput di wilayah Papua. Pertanyaan itu dilontarkan Troy dalam pertemuan dengan Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura, Selasa (06/11/2012).
"Dengan adanya pertemuan ini, kami dapat mengetahui sedikit kondisi dunia jurnalistik di Papua, sehingga ke depan jadi pembelajaran juga bagi kami," kata Troy di Dante Cafe, Kota Jayapura, Papua.

Selain itu, kata Troy, pihaknya juga tak memiliki banyak data mengenai kondisi jurnalis di Papua ataupun akses informasi yang bisa diperoleh para jurnalis yang meliput di Papua. "Apalagi informasi ini baru dilihat di Jayapura saja, belum daerah lain di Papua. Sehingga masih butuh banyak pengetahuan dan pemahaman," kata Troy yang saat itu didampingi Senior Information Specialist dari Kedubes Amerika Serikat, Indar Juniardi.

Menurut Troy, ada banyak hal yang menarik dari Papua, tapi belum banyak diketahui, seperti isu-isu lokal.
Troy juga mengakui masih ada kendala terkait dengan persoalan independensi dan skill jurnalis dalam melakukan peliputan investigasi di Papua, termasuk kendala pendanaan dalam peliputan mendalam di wilayah pedalaman Papua. "Tapi hal ini tidak hanya terjadi di Papua. Di Jakarta sempat kami temui ada hal seperti itu," katanya. [tmp]

Tuntut Keadilan, Suciwati Kunjungi Makam Theys di Papua

Sunday, 11-11-2012 18:37:54 Oleh MAJALAH SELANGKAH Telah Dibaca 161 kali
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH – Suciwati, isteri almarhum Munir Said Thalib, mengunjungi makam almarhum Theys Hiyo Eluay di Sentani serta bertemu keluarga Aristoteles Masoka, supir Theys yang hilang usai melaporkan penculikan Theys, (10/11).

Suciwati (Kanan) saat Jumpa Pers di Jayapura Papua @MS032
“Apa yang dialami Theys Hiyo Eluays dan Aristoteles Masoka sama dengan apa yang dialami suami saya, Munir. Mereka dibunuh oleh orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Saya ingin kita semua berjuang bersama merebut keadilan. Jangan biarkan pelaku bebas berkeliaran! Rezim ini tidak berubah karena penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap pejuang HAM terus terjadi di setiap lini. Sampai hari ini para penjahatnya masih bebas, bahkan dipromosikan, ” kata Suciwati hari ini, Minggu (11/11) di hadapan wartawan di Kantor KontraS Padang Bulan, Waena, Jayapura.
“Kita harus terus melawan dan katakan meski para pelaku itu membunuh Munir dan Theys, ini tidak akan menghentikan kebenaran dan perjuangan yang telah dilakukan oleh Theys dan Munir. Kita harus tetap menolak kekerasan di bumi Indonesia,” katanya.
Suciwati, perempuan yang pernah menjadi aktivis buruh inimenyatakan, suaminya diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia, Jakarta-Amsterdam pada 7 September 2004. Tujuan kedatangannya ke Jayapura untuk pertama kalinya ini adalah untuk memperingati hari pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Kepala suku sekaligus Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) yang diculik dan dibunuh seusai memenuhi undangan perayaan hari pahlawan di Markas Tribuana Kopassus, Jayapura 10 November 2001.
Saat hendak pulang menuju ke rumah keluarga Eluay di Sentani, Theys dibunuh di dalam mobilnya sendiri. Mulanya, komandan Kopassus di Jayapura, Letkol Sri Hartomo membantah terlibat dalam pembunuhan Theys namun tekanan nasional dan internasional membuat militer Indonesia terpaksa mengakui keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan Theys.
“Kedatangannya ke Papua bukan untuk menyatakan solidaritas atas korban-korban pelanggaran HAM di Papua saja, namun juga memohon bantuan Masyarakat Papua agar Suciwati dapat memperoleh keadilan dalam kasus pembunuhan Cak Munir,” demikian kata Olga Hamadi, Koordinator KontraS Papua yang mendampingi Suciwati saat konferensi pers berlangsung.
Pada 21-23 April 2003, Pengadilan Militer Surabaya memvonis Letkol Tri Hartomo dan enam Anggota Koppasus lain yang bersalah secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian Theys. Mereka dihukum 2-3.5 tahun penjara serta sebagian dipecat dari militer. Letkol Tri Hartomo, Komandan Kopassus Jayapura (pemecatan, hukuman 3.5 tahun penjara); Mayor Doni Hutabarat (2.5 tahun penjara, mengundang Theys dalam acara Kopassus, ikut memata-matai Theys); Kapten Rionaldo (3 tahun, melakukan penganiayaan terhadap Theys, memata-matai Theys); Letnan Satu Agus Supriyanto (3 tahun, penganiayaan, tidak hentikan Prajurit A. Zulfahmi saat mencekik Theys); Sersan Satu Asrial (3 tahun, penganiayaan); Sersan Satu Laurensius Li (2 tahun, tidak mencegah rekan-rekannya mencekik dan menganiaya Theys); Prajurit Kepala, A. Zulfahmi (3 tahun, pemecatan, mencekik Theys dalam mobil Toyota Kijang)
Sebulan sebelum pembunuhan, Tri Hartomo memerintahkan bawahannya ‘mengamankan’ Theys. Di pengadilan, Hartomo mengaku bahwa ia memerintahkan anak buahnya untuk mencegah Theys merayakan kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2001. Mayor Doni Hutabarat adalah pemimpin tim. Mereka menghentikan mobil Theys di Daerah Skyline, sekitar 20 menit dari Hamadi. Menurut kesaksian di Surabaya, Theys berteriak yang membuat A. Zulfahmi membungkam mulut Theys dan ‘tak sengaja’ membunuhnya.
Sedangkan Aristoteles Masoka sempat menelepon istri Theys Eluay, Yaneke Ohee, dimana Masoka dikutip menelepon dalam keadaan gugup dan tergesa-gesa, sebelum telepon mendadak mati, “mama, bapa diculik, saya akan pergi cek, karena mereka yang culik …”
Munir dari KontraS semasa hidupnya mengatakan, pembunuhan Theys ada kemungkinan terkait dengan sebuah dokumen bocor dari rapat di Departemen Dalam Negeri pada 8 Juni 2000 dimana dibicarakan soal merdeka. Anggota Kopassus juga menghadiri rapat tersebut sebagai peserta.
Sekarang, ternyata ketujuh orang tersebut tidak sepenuhnya menjalani hukuman yang ditimpakan pengadilan Surabaya. Ada kemungkinan mereka mendapat keringanan ketika banding di Pengadilan Militer Jakarta. Tri Hartomo baru dipindahkan dari Kopassus ketika Amerika Serikat hendak menjalin kerja sama militer dengan Kopassus pada Juli 2010. Kini Hartomo adalah Komandan Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat di Bandung. Doni Hutabarat kini berpangkat Letnan Kolonel dan bertugas sebagai Komandan Dandim di Medan.
Kopassus tetap melakukan kegiatan mata-mata terhadap Masyarakat Sipil Papua, termasuk membayar wartawan, guna mengawasi tokoh-tokoh sipil. Pada Agustus 2011, ratusan lembar dokumen Kopassus bocor, termasuk nama-nama wartawan, pegawai negeri, supir rental, tukang ojek dan lain-lain yang bekerja untuk Kopassus. (Aprila Wayar/MS)


Populasi Orang Asli Papua menurun

Populasi Orang Asli Papua Menurun, Poligami Dianggap Solusi

Sunday, 09-09-2012 00:33:02 Oleh MAJALAH SELANGKAH Telah Dibaca 233 kali
Bandung, MAJALAH SELANGKAH — Ciska Abugau, anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP) seperti dilansir Cermin Papua menuturkan, sejak Papua dianeksasikan sebagai bagian dari Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI) sampai saat ini banyak rakyat Papua menjadi korban akibat kekerasan Militer Indonesia, oleh sebab itu generasi Papua perlu terapkan poligame agar orang Papua tidak punah dari atas negeri sendiri.
Hal itu diungkapkan Ciska di sela-sela sambutan Acara Syukuran Wisudawan dan pengukuhan Mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Pamongpraja Muda, di  Gor Kampus Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN) Jatinangor, Bandung, Jawa Barat, Kamis, (6/9), lalu.
“Namun yang paling inti sebagai kepala keluarga harus bertanggung jawab untuk mengurus keluarganya agar tidak menimbulkan kekerasan dalam rumah tanggah,” kata anggota Majelis Rakyat Papua itu.

Lanjutnya, bila kebiasan tersebut tidak terapkan oleh generasi Muda Papua maka orang Papua akan Punah. Karena, kata dia, angka kematihan di Papua semakin meningkat dari tahun ke tahun dibandingkan angkat kelahiran. “Dalam hal ini mama-mama Papua pun merasa sakit hati, karena anak yang dilahirkan ternyata untuk dibunuh oleh militer Indonesia,” katanya.
Ditambahkan, karena selama ini yang terjadi penembakan di Papua, pihak aparat selalu mengatakan OTK. “Kami sebagai perwakilan Orang Asli Papua merasa kecewa dengan pernyataan ini. Padahal yang memiliki sejata adalah TNI/POLRI, “tutur Mama Ciska.
Mandos Mote, Mahasiswa Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) mengatakan, setuju dengan ungkapan mama Ciska Abugau. “Jika melihat kondisi Papua saat ini populasi orang Papua menurun.  Angka kematian misterius sangat banyak. Maka, setuju dengan Mama Ciska. Mari kita angkat budaya poligami demi menyelamatkan manusia dan alam Papua, walaupun hal ini pertentangan dengan Agama,” kata Mote.  (Jekson Ikomou/003/MS)