14 Oktober 2012

Lanjutan Israel Vs Palestine

Oleh karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah orang Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang merasa nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan mereka. Dalam periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan bangsa Yahudi jauh lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi secara umum, kondisi orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman dahulu tetap menjadi sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana sudah saya sebut, kebencian pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu mendalam sekali karena dijustifikasi dengan ajaran agama. Sekarang ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah “antek Yahudi” adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja yang dianggap “memusushi” Islam — sama kotornya dengan istilah “antek PKI”.
Dulu, almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah media kalangan Islam fundamentalis di Jakarta sebagai “antek Yahudi”. Majalah itu menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik: nama Cak Nur dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa maksud karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap dalam belitan “ular” Yahudi. Hingga saat ini, bahkan di Amerika sekalipun, kita menyaksikan beredarnya sebuah teori konspirasi tentang “rencana Yahudi” untuk menguasai dunia. Buku “Protocols of Zion”, misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas rahasia Rusia beredar luas di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke dunia Islam. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan basaha-bahasa lain itu dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak kalangan sebagai dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang rencana bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia. Buku semacam ini jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford yang terkenal itu menulis buku yang sangat anti-Yahudi berjudul “The Jews”. Beberapa tahun yang lalu, saat usai memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens memberikan saya buku itu seraya berkata, “Bapak harus membaca buku ini”. Hingga sekarang, sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di Amerika.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada “zaman kegelapan” yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.
Ini yang menjelaskan kenapa Israel bersikap tanpa kompromi pada Hamas sebab kelompok ini memiliki misi khusus untuk menghancurkan negara Israel. Di mata Israel, Hamas jelas semacam mimpi-buruk yang menghantui mereka. Bangsa Yahudi jelas tak mau jatuh ke masa silam yang buruk, ke zaman pogrom dan holocaust. Tetapi justru di sini letak kelemahan bangsa Yahudi di Israel dan di manapun saat ini. Karena terlalu dihantui oleh masa lampau yang pahit, reaksi mereka terhadap ancaman saat ini terlalu berlebihan. Yang menjadi korban adalah bangsa Palestina. Sebagai sebuah negara, Israel, negara Yahudi itu, saat ini sudah cukup kuat dan sangat makmur. Memang kita bisa paham kenapa Israel selalu merasa tidak was-was dan tidak aman selama ini, sebab ia dikepung oleh tetangga-tetangga yang sangat membenci keberadaannya.
Kalau di awal tulisan ini saya mengtakan bahwa konflik Palestina-Israel boleh jadi tak akan pernah selesai, di ujung tulisan ini saya ingin mengemukakan sebuah harapan. Salah satu harapan itu adalah jika pihak bangsa Yahudi dan bangsa Arab, terutama Palestina, bisa mengatasi “masa lalu” mereka masing-masing. Bangsa Yahudi harus melepaskan diri dari “mentalitas diaspora” yang membuat mereka merasa terancam terus dan selalu mencurigai tetangga-tetanggany a. Jika mentalitas ini tak bisa diatasi, maka negara Israel akan terus mencari musuh dengan tetangga-tetangga dekatnya seperti kita saksikan sekarang ini. Dari pihak bangsa Arab, tantangan terbesar adalah mengatasi “rasa superioritas” mereka sebagai bangsa yang pernah berjaya selama berabad-abad di kawasan Arab dan sekitarnya, dan merasa bahwa bangsa Yahudi tak punya hak untuk mendirikan negara di tanah Palestina, sebab hal itu akan melukai rasa superioritas itu.
Dari pihak umat Islam sendiri secara keseluruhan juga ada tantangan yang sangat berat jika mereka benar-benar ingin ikut menyelesaikan masalah Palestina-Israel ini. Selama ini, kita semua tahu, ajaran yang membenci bangsa Yahudi diajarkan terus di sekolah-sekolah agama di seluruh dunia Islam, sejak zaman klasik hingga sekarang. Waktu saya di pesantren dulu, setiap guru saya menerangkan ayat-ayat dalam Quran yang membenci bangsa Yahudi, maka mereka memahaminya dengan tidak kritis, sehingga secara tak sengaja, mereka mengajarkan kebencian turun-temurun terhadap bangsa Yahudi. Bagaimana mungkin dunia Islam mau menyelesaikan masalah Palestina-Israel jika ajaran-ajaran yang membenci bangsa Yahudi ini terus ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Menurut saya, harus ada reinterpretasi ulang atas sejumlah ayat dan hadis yang membenci bangsa Yahudi dan selama ini diajarkan di lembaga-lembaga Islam. Jika tidak, maka selamanya akan terjadi kebencian dan permusuhan antara umat Islam dan bangsa Yahudi. Saya tak percaya bahwa umat Islam akan berhenti membenci bangsa Yahudi seandainya pun yang terakhir itu, misalnya, dengan sukarela membubarkan negara Israel lalu pergi dari tanah Palestina. Menurut saya, masalahnya lebih serius dari sekedar masalah “tanah”. Yang bermasalah adalah doktrin dalam agama itu sendiri.
Apa yang saya tulis ini jelas tak populer di kalangan Islam saat ini. Boleh jadi, tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konspirasi Yahudi pula. Silahkan saja. Dengan terus terang saya katakan, saya bukan “fan” atau pendukung ringan, apalagi berat, negara Israel. Saya benci dan jengkel pada tindakan dan kebijakan pemerintah Israel selama ini terhadap bangsa Palestina. Tetapi kita juga harus jujur melakukan otokritik pada diri kita sendiri. Ada sikap-sikap yang salah dan tak tepat juga di kalangan umat Islam terhadap bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Sikap-sikap yang berdasarkan pada doktrin agama itu harus dikritik jika umat Islam memang benar-benar ingin menegakkan perdamaian di bumi Palestina.[]
Wallahu a’lam bissawab
Ulil Abshar Abdalla

Yahudi Vs Palestine

YAHUDI ISRAEL vs PALESTINA


Berikut ini saya tampilkan kiriman e-mail dari koordinator JIL yg sekarang sedang menyelesaikan studi Ph.D di negerinya Barack Husein Obama. Sebagaimana ciri khas dari tulisannya, tulisan inipun juga menggelitik dan agak nyerempet-nyerempet terlebih bagi yg temperamental dan alergi dg perbedaan. Selamat menikmati, semoga semakin tercerahkan, bahwa perbedaan itu betul-betul nikmat, amin.
Saya kadang-kadang berpikir, jangan-jangan konflik Palestina-Israel tidak akan selesai “ila yaum al-qiyamah”, sampai hari kiamat. Satu-satunya harapan adalah jika kedua belah pihak lelah dan bosan perang, lalu dengan “sadar” meletakkan senjata dan saling jabat tangan. Tetapi titik-lelah itu belum kelihatan hingga sekarang. Kita harus siap untuk melihat jatuhnya korban terus-menerus di waktu-waktu mendatang. Sudah berkali-kali usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dilakukan oleh komunitas internasional, tetapi gagal terus. Masing-masing pihak mempunyai versinya masing-masing kenapa usaha diplomatik itu gagal. Pihak Israel sudah tentu menyalahkan pihak Palestina, sejak zaman PLO di bawah Arafat hingga sekarang ini di mana Hamas muncul ke permukaan menggantikan popularitas PLO. Pihak Palestina dan negara-negara Arab, kemudian diamini juga oleh dunia Islam, tentu menyalahkan pihak Israel sebagai biang kegagalan usaha diplomatik itu.
Saat perang atas terorisme dikumandangkan oleh Presiden Bush dari Washington, semua negara makin punya alasan untuk menjadikan momen ini untuk meningkatkan aksi-aksi militer mereka, tentu dengan alasan untuk memerangi terorisme. Rusia dan Cina telah melakukan itu. Kini Israel, sebelum Bush lengser beberasa saat lagi, seperti “kejar tayang” untuk menyelesaikan “masalah Hamas” dengan melakukan agresi besar-besaran. Seperti sudah bisa kita duga, aksi Israel ini didukung “tanpa syarat” oleh Presiden Bush. Mari kita lihat konflik ini dalam perspektif yang lebih luas sehingga kita bisa lebih “tenang” memahaminya. Tak ada dalam sejarah manusia di mana sebuah bangsa dibenci secara sistematis, menjadi sasaran prasangka buruk, stereo-type, rasialisme, dan persekusi seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Itulah sebabnya di Eropa di mana bangsa Yahudi mengalami banyak persekusi dan diskriminasi selama berabad-abad dikenal istilah “Jewish question”, masalah Yahudi.
Debat menganai “Jewish question” ini berlangsung lama sekali di Eropa dan baru tuntas pada pertengahan abad ke-20. Secara kuantitas, bangsa Yahudi tidaklah besar jumlahnya. Total jumlah orang Yahudi di seluruh dunia saat ini mungkin tak lebih dari 15 juta orang. Sebagian besar mereka tinggal di Israel dan Amerika. Selebihnya mereka terserak-serak sebagai koloni kecil-kecil di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, Amerika Latin, Asia, termasuk di negeri-negeri Arab sendiri. Tetapi bangsa yang kecil jumlahnya ini menjadi sasaran prasangka buruk dan kebencian oleh banyak pihak sejak zaman dahulu. Pertama-tama yang layak kita sebut adalah pihak Kristen. Selama beradad-abad, bangsa Yahudi menjadi sasaran diskriminasi dari pihak Kristen. Konflik antara Kristen dan Yahudi sudah berlangsung sejak awal, bahkan sejak kelahiran agama Kristen itu sendiri. Pertikaian antara orang-orang Yahudi dan Kristen bukan sekedar pertikaian politik biasa, tetapi juga pertikaian yang dijustifikasi secara teologis melalui ajaran agama. Lalu datang Islam. Sejak awal, pertikaian antara Islam dan Yahudi sama sekali tak terhindarkan.
Pada saat Nabi Muhammad datang di Madinah, ada sejumlah koloni orang-orang Yahudi di sekitar Madinah. Karena konflik dengan Nabi dan umat Islam saat itu, orang-orang Yahudi ditumpas habis dan sebagian lagi diusir secara total dari kawasan itu. Pada saat Islam berjaya sebagai kekuatan politik di kawasan Arab pada rentang antara abad 8 hingga abad 15 Masehi, bangsa Yahudi sebetulnya menikmati suasana yang lebih bersahabat di dunia Islam ketimbang di dunia Kristen. Tetapi, kebencian pada Yahudi sebagai sebuah agama tetap bertahan secara endemik dalam Islam. Bangsa Yahudi digambarkan sangat negatif dalam beberapa ayat di Quran, dan kemudian disokong pula dengan sejumlah hadis. Contoh kecil saja: sebuah hadis terkenal menyebutkan bahwa pada akhir zaman nanti Nabi Isa (atau Yesus) akan turun kembali ke bumi (persis dengan keyakinan dalam Kristen). Menurut hadis itu, tugas Nabi Isa pada saat itu, antara lain, adalah untuk menghancurkan salib dan membunuhi orang-orang Yahudi. Sebuah hadis lain menyebutkan bahwa dua frasa di ujung Surah al-Fatihah (bab pembuka dalam Quran) merujuk kepada orang Kristen dan Yahudi. Dua frasa itu adalah: “al-maghdub ‘alaihim” (orang-orang yang dibenci oleh Tuhan) dan “al-dallin” (orang-orang yang sesat).
Orang yang dibenci Tuhan maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh hadis itu, adalah orang Yahudi, sementara orang-orang yang sesat adalah orang-orang Kristen. Karena pengaruh Kitab Suci sangat mendalam pada umatnya, kita bisa membayangkan bagaimana dua frasa yang diulang-ulang setiap salat oleh seluruh umat Islam ini memiliki pengaruh dalam membentuk prasangka buruk terhadap bangsa Yahudi. Baik agama Kristen atau Islam mengandung unsur-unsur ajaran yang bisa membiakkan kebencian pada bangsa Yahudi. Ini bukan kebencian biasa, tetapi kebencian yang dijustifikasi oleh firman dan ajaran Tuhan sehingga pengaruhnya sangat mendalami. Tak heran sekali jika kebencian pada agama dan bangsa Yahudi bertahan selama berabad-abad. Kalau kita baca sejarah, tidak ada bangsa yang mengalami korban sebagai sasaran kebencian selama dan seserius seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Yang mengherankan, jumlah mereka sangat kecil sekali, tetapi kebencian pada mereka sungguh tak sebanding dengan jumlah itu. Atau justru karena mereka kecil lah dengan mudah menjadi “kambing hitam” di mana-mana. Persis seperti dialami oleh kaum minoritas di manapun yang cenderung dijadikan sasaran demonisasi dan pengambing-hitaman.
Kalau kita baca sejarah Amerika, hingga pertengahan abad 20, diskriminasi dan perlakuan yang tak menyenangkan dialami oleh bangsa Yahudi secara konsisten. Seorang profesor Yahudi yang pernah belajar di Universitas Harvard dan sekarang sudah pensiun pernah bercerita pada saya bahwa hingga tahun 60an, orang-orang Yahudi mendapat kesulitan untuk memperoleh posisi sebagai profesor di Universitas Harvard. Menurut dia, seorang ekonom Yahudi yang sangat kondang dan pernah memenangkan hadiah Nobel, Paul Samuelson, ditolak lamarannya sebagai profesor di Universitas Harvard pada tahun 40an. Menurutnya, Samuelson ditolak terutama karena keyahudiannya. Akhirnya, MIT (Massachusetts Institute of Technology) menampung dia. Saat di MIT itulah Samuelson mendapatkan hadiah Nobel. Saya kira, Universitas Harvard malu dengan kejadian ini. Di dunia Islam, jelas orang-orang Yahudi saat ini merasa kurang nyaman.


Oleh karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah orang Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang merasa nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan mereka. Dalam periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan bangsa Yahudi jauh lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi secara umum, kondisi orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman dahulu tetap menjadi sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana sudah saya sebut, kebencian pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu mendalam sekali karena dijustifikasi dengan ajaran agama. Sekarang ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah “antek Yahudi” adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja yang dianggap “memusushi” Islam — sama kotornya dengan istilah “antek PKI”.
Dulu, almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah media kalangan Islam fundamentalis di Jakarta sebagai “antek Yahudi”. Majalah itu menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik: nama Cak Nur dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa maksud karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap dalam belitan “ular” Yahudi. Hingga saat ini, bahkan di Amerika sekalipun, kita menyaksikan beredarnya sebuah teori konspirasi tentang “rencana Yahudi” untuk menguasai dunia. Buku “Protocols of Zion”, misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas rahasia Rusia beredar luas di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke dunia Islam. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan basaha-bahasa lain itu dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak kalangan sebagai dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang rencana bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia. Buku semacam ini jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford yang terkenal itu menulis buku yang sangat anti-Yahudi berjudul “The Jews”. Beberapa tahun yang lalu, saat usai memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens memberikan saya buku itu seraya berkata, “Bapak harus membaca buku ini”. Hingga sekarang, sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di Amerika.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada “zaman kegelapan” yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.

Lanjutan Yahudi Bukan Israel

Sebagai bentuk pemeliharaan terhadap syi’ar islam, para sahabat terutama Umar Ibn Al Khattab radhiyallahu ‘anhu sangat menekankan agar umat islam mempelajari bahasa arab. Beliau pernah mengatakan: “Pelajarilah bahasa arab, karena itu bagian dari agama kalian.” Beliau juga mengatakan: “Hati-hati kalian dengan bahasa selain bahasa arab.” Umar radhiyallahu ‘anhu membenci kaum muslimin membiasakan diri dengan berbicara selain bahasa arab tanpa ada kebutuhan, dan ini juga yang dipahami oleh para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum) menganggap bahasa arab sebagai konsekuensi agama, sedangkan bahasa yang lainnya termasuk syi’ar kemunafikan. Karena itu, ketika para sahabat berhasil menaklukkan satu negeri tertentu, mereka segera mengajarkan bahasa arab kepada penduduknya meskipun penuh dengan kesulitan. (lihat Muqaddimah Iqtidla’ Shirathal Mustaqim, Syaikh Nashir al ‘Aql)
Dalam bahasa arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan ‘atamah. Orang-orang arab badui di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebiasaan menamai shalat Isya’ dengan nama waktu pelaksanaan shalat isya’ yaitu ‘atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan menamakan shalat isya’ dengan shalat ‘atamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka melalui sabdanya:
لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة لإعتامهم بالإبل لحلابها
“Janganlah kalian ikut-ikutan orang arab badui dalam menamai shalat kalian, sesungguhnya dia adalah shalat Isya’, sedangkan orang badui menamai shalat isya dengan ‘atamah karena mereka mengakhirkan memerah susu unta sampai waktu malam.” (HR. Ahmad, dinyatakan Syaikh Al Arnauth sanadnya sesuai dengan syarat Muslim)
Al Quthuby mengatakan: “Agar nama shalat isya’ tidak diganti dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan dan tidak pula menunjukkan bahwa penggunaan istilah ‘atamah tidak diperbolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggunakan istilah ini dalam hadisnya…” (‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari karya Al ‘Aini)
Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam menjaga syi’ar islam. Sampai menjaga istilah-istilah yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal penggunaan istilah asing dalam penamaan shalat isya’ tidak sampai derajat haram, karena tidak mengandung makna yang buruk.
Lalu dengan apa kita menamai mereka?! Kita menamai mereka sebagaimana nama yang Allah berikan dalam Al-Qur’an, YAHUDI dan bukan ISRAEL. Dan sebagaimana disampaikan di atas, hendaknya setiap muslim membiasakan diri dalam menamakan sesuatu sesuai dengan yang Allah berikan. Hendaknya kita namakan orang-orang yang mengaku pengikut Nabi Isa ‘alahis salam dengan NASRANI bukan KRISTIANI, kita namakan hari MINGGU dengan AHAD bukan MINGGU, kita namakan shalat dengan SHALAT bukan SEMBAHYANG dan seterusnya selama itu bisa dipahami oleh orang yang diajak bicara, sebagai bentuk penghormatan kita terhadap syi’ar-syi’ar agama islam. Wallaahu waliyyut taufiiq…
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id

Yahudi Bukan Israel



Yahudi Bukan Israel
 
Sungguh sangat memprihatinkan, banyak di antara kaum muslimin sering tidak sadar dan lepas kontrol ketika berbicara. Tidak hanya terjadi pada orang awam, bisa kita katakan juga terjadi pada sebagian besar pelajar atau bahkan mereka yang merasa memiliki banyak tsaqafah islamiyah.
Barangkali mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol akan tetapi menjerumuskan dia ke neraka.” (HR. Al Bukhari 6478)

Al Hafidz Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadis ini, yang dimaksud diucapkan tanpa kontrol adalah tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak diperkirakan dampak yang ditimbulkan. Hal ini semisal dengan firman Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم
“Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah.” (QS. An-Nur: 15)
Oleh karena itu, pada artikel ini -dengan memohon pertolongan kepada Allah- penulis ingin mengingatkan satu hal terkait dengan ayat dan hadis di atas, yaitu sebuah ungkapan penamaan yang begitu mendarah daging di kalangan kaum muslimin, sekali lagi tidak hanya terjadi pada orang awam namun juga terjadi pada mereka yang mengaku paham terhadap tsaqafah islamiyah. Ungkapan yang kami maksud adalah penamaan YAHUDI dengan ISRAEL. Tulisan ini banyak kami turunkan dari sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzhahullah yang berjudul “Penamaan Negeri Yahudi yang Terkutuk dengan Israel”.
Tidak diragukan bahkan seolah telah menjadi kesepakatan dunia termasuk kaum muslimin bahwa negeri yahudi terlaknat yang menjajah Palestina bernama Israel. Bahkan mereka yang mengaku sangat membenci yahudi -sampai melakukan boikot produk-produk yang diduga menyumbangkan dana bagi yahudi- turut menamakan yahudi dengan israel. Akan tetapi sangat disayangkan tidak ada seorang pun yang mengingatkan bahaya besar penamaan ini.
Perlu diketahui dan dicamkan dalam benak hati setiap muslim bahwa ISRAIL adalah nama lain dari seorang Nabi yang mulia, keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Allah ta’ala berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.” (QS. Ali Imran: 93)
Israil yang pada ayat di atas adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu: “Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Apakah kalian mengakui bahwa Israil adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya, betul.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.” (HR. Daud At-Thayalisy 2846)
Kata “Israil” merupakan susunan dua kata israa dan iil yang dalam bahasa arab artinya shafwatullah (kekasih Allah). Ada juga yang mengatakan israa dalam bahasa arab artinya ‘abdun (hamba), sedangkan iil artinya Allah, sehingga Israil dalam bahasa arab artinya ‘Abdullah (hamba Allah). (lihat Tafsir At Thabari dan Al Kasyaf ketika menjelaskan tafsir surat Al Baqarah ayat 40)
Telah diketahui bersama bahwa Nabi Ya’qub adalah seorang nabi yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah ta’ala. Allah banyak memujinya di berbagai ayat al Qur’an. Jika kita mengetahui hal ini, maka dengan alasan apa nama Israil yang mulia disematkan kepada orang-orang yahudi terlaknat. Terlebih lagi ketika umat islam menggunakan nama ini dalam konteks kalimat yang negatif, diucapkan dengan disertai perasaan kebencian yang memuncak; Biadab Israil… Israil bangsat… Keparat Israil… Atau dimuat di majalah-majalah dan media massa yang dinisbahkan pada islam, bahkan dijadikan sebagai Head Line News; Israil membantai kaum muslimin… Agresi militer Israil ke Palestina… Israil penjajah dunia…. Dan seterusnya… namun sekali lagi, yang sangat fatal adalah ketika hal ini diucapkan tidak ada pengingkaran atau bahkan tidak merasa bersalah.
Mungkin perlu kita renungkan, pernahkah orang yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas merasa bahwa dirinya telah menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? pernahkah orang-orang yang menulis kalimat ini di majalah-majalah yang berlabel islam dan mengajak kaum muslimin untuk mengobarkan jihad, merasa bahwa dirinya telah membuat tuduhan dusta kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? mengapa mereka tidak membayangkan bahwasanya bisa jadi ungkapan-ungkapan salah kaprah ini akan mendatangkan murka Allah – wal ‘iyaadzu billaah – karena isinya adalah pelecehan dan tuduhan bohong kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Mengapa tidak disadari bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihis salam tidak ikut serta dalam perbuatan orang-orang yahudi dan bahkan beliau berlepas diri dari perbuatan mereka yang keparat. Pernahkah mereka berfikir, apakah Nabi Israil ‘alaihis salam ridha andaikan beliau masih hidup?!
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 58)
Allah menyatakan, menyakiti orang mukmin biasa laki-laki maupun wanita sementara yang disakiti tidak melakukan kesalahan dianggap sebagai perbuatan dosa, bagaimana lagi jika yang disakiti adalah seorang Nabi yang mulia, tentu bisa dipastikan dosanya lebih besar dari pada sekedar menyakiti orang mukmin biasa.
Satu hal yang perlu disadari oleh setiap muslim, penamaan negeri yahudi dengan Israil termasuk salah satu di antara sekian banyak konspirasi (makar) yahudi terhadap dunia. Mereka tutupi kehinaan nama asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia Nabi Israil ‘alaihis salam. Karena bisa jadi mereka sadar bahwa nama YAHUDI telah disepakati jeleknya oleh seluruh dunia, mengingat Allah telah mencela nama ini dalam banyak ayat di Al-Qur’an.


Kita tidak mengingkari bahwa orang-orang yahudi merupakan keturunan Nabi Israil ‘alaihis salam, akan tetapi ini bukan berarti diperbolehkan menamakan yahudi dengan nama yang mulia ini. Bahkan yang berhak menyandang nama dan warisan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para nabi yang lainnya adalah kaum muslimin dan bukan yahudi yang kafir. Allah ta’ala berfirman:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي المؤمنين
“Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini, beserta orang-orang yang beriman, dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 68)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mengucapkan dan melakukan perbuatan yang dicintai dan di ridai oleh Allah ta’ala.
* * *
“Sedikitpun kami tidak berniat menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam dalam penggunaan kalimat-kalimat ini sebaliknya, yang kami maksud adalah yahudi…”
Barangkali ini salah satu pertanyaan yang akan dilontarkan oleh sebagian kaum muslimin ketika menerima nasihat ini. Maka jawaban singkat yang mungkin bisa kita berikan: Justru inilah yang berbahaya, seseorang melakukan sesuatu yang salah namun dia tidak sadar kalau dirinya sedang melakukan kesalahan. Bisa jadi hal ini tercakup dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Bukankah semua pelaku perbuatan bid’ah tidak berniat buruk ketika melakukan kebid’ahannya, namun justru inilah yang menyebabkan dosa perbuatan bid’ah tingkatannya lebih besar dari melakukan dosa besar.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, Orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. misalnya mereka mengatakan; “terlaknat Mudzammam”, “terkutuk Mudzammam”, dan seterusnya. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد
“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad & Al Bukhari)
Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Beliau tidak menilai itu sebagai penghinaan untuknya. Dan ini dinilai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan karena yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.
Di samping itu, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu yang menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram. Allah melarang kaum muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta’ala. Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. Al An’am: 108)