27 November 2011

Kunjungan Komisi VIII DPR-RI “Pantau” Otsus Papua

Kunjungan Komisi VIII DPR-RI “Pantau” Otsus Papua

JUBI --- Kedatangan Komisi VIII DPR RI bersama rombongan melakukan pertemuan dengan pemerintah Provinsi Papua yang juga dihadiri oleh tokoh agama, adat, MRP dan DPRP, untuk melakukan pengawasan atau mengontrol serta memantau implementasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
“Karena selain membuat undang-undang dan anggaran, DPR RI juga harus melakukan pengawasan sejauh mana penggunaan anggaran APBN itu digunakan di daerah,” ujar Ketua Tim Komisi VIII DPR RI Drs.Manuel Kaisiepo kepada wartawan usai melakukan pertemuan di Sasana Krida, Senin (31/10).
Dikatakan, kunjungan kerja komisi VIII ke Papua untuk meminta masukan-masukan dalam rangka pembahasan beberapa peraturan perundang-udangan, disisilain kunjungan DPR RI ke Papua yang membidangi Agama, Sosila, Budaya dan pemberdayaan perempuan.
Mengenai adanya dana untuk pembangunan daerah tertinggal di Papua, kata Manuel Kaisiepo, untuk daerah tertinggal posnya ada di kementerian sosial untuk daerah tertinggal. “Akan tetapi, di Papua satu daerah yang mendapat bantuan Rp.17 miliar, yang kita pertanyakan kenapa Papua hanya satu daerah yang mendapat bantuan tersebut,” ungkap Kaisiepo, yang pada tahun 2000-2001 menjabat Menteri Muda Urusan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Kabinet Persatuan Nasional.
Dikatakan, untuk memberikan keberpihakan kesejahteraan secara sosial, ekonomi, harkat dan martabat rakyat Papua, tetapi setelah 10 tahun berjalan dengan kucuran anggaran yang besar belum membawa dampak yang signitifikan jika dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat Papua. “Angka kemiskinan di Papua sangat tinggi sekali yang mencapai 34 persen, berarti ada yang salah. Namun bukan Undang-undangnya tetapi implementasi,”ulasnya.
Sebabnya, lebih lanjut diminta, agar kedepan harus ada perbaikan. Karena Undang-undang Otsus ini memberikan kewenangan yang besar dan anggaran besar.
“Seharusnya UU Otsus ini dapat memberikan atau mendorong peningkatan kesejahteraan, termasuk harkat dan martabat akan muncul dengan sendirinya ketika orang mempuntai pendidikan yang baik dan ekonominya baik,” tandasnya.
Dirinya menilai , sebab dengan dana Rp.17 miliar sementara wilayah Papua sangat luas dan letak geografisnya yang sangat sulit, sehingga untuk membuat jalan dengan dana sebesar itu tidak cukup. “Sehingga itu merupakan kewajiban kami, karena kami yang menentukan anggarannya dengan adanya aspirasi dari Papua yang mempertanyakan dana untuk daerah tertinggal,” tuturnya.
“Kami juga harus memantau anggaran realisasi penggunaan anggaran yang ada dalam bidang kami untuk dikontrol, walaupun DPR yang mempunyai tugas dan fungsi membuat undang-undang, menetapkan anggaran,” jelasnya.
Diakui, dana yang kita setujui datang kita control apa sudah dilakukan termasuk di Papua. Pada kesempatan tersebut, Manuel Kaisiepo sebagai putera asli Papua menilai terjadinya gejolak dan konflik yang terjadi di Papua merupakan ekspresi ketidak puasan dan kekecewaan masyarakat akibat tidak berjalannya UU Otsus secara konsekuen. “Pada hal ketika Undang-undang Otsus dirancang kita berharap harapan sangat besar dan ketika UU otsus itu jadi isinya sangat baik, yang diharapkan mengakhiri konflik-konflik yang terjadi di masa lampau,” sambungnya.
Sementara itu, Sekertaris Daerah Provinsi Papua, Constant Karma menyambut baik kedatangan para anggota Komisi VIII DPR-RI dalam rangka melakukan pengawasan implemntasi Otsus Papua. Acara tersebut diakhiri dengan pemberian cindera mata dari Tim Komisi kepada Pemda Papua. (JUBI/Eveerth Joumilena)
http://papuapost.com/?p=5065 [465] words.Posted in: Otonomisasi [110]  ‡Tagged as:  , ,  Last modified  @ November 1st, 2011.  [ Views14 ] 

Gereja, aktivis desak SBY tangani serius Papua

27 October, 2011


Gereja, aktivis desak SBY tangani serius Papua

Gereja, aktivis desak SBY tangani serius Papua thumbnail
Beberapa pastor Protestan yang terus menyuarakan perdamaian di Papua (Dok)


Komisi HAK KWI dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bersama para aktivis HAM dari 35 LSM desak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera menangani kekerasan di Papua.
“Kami, warga negara Republik Indonesia meminta dengan tegas kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan persoalan di Papua dengan membangun dialog sejati yang damai yang menghormati martabat dan hak budaya rakyat Papua,” demikian pernyataan bersama mereka yang disampaikan dalam konferensi pers di kantor KontraS (25/10).
Mereka menyatakan amat mengkhawatirkan perkembangan situasi penegakan hak asasi manusia di Papua.
“Kami meminta presiden memerintahkan Panglima TNI segera menarik seluruh personel TNI non organic  dari Tanah Papua,” lanjut pernyataan itu.
Forum itu juga meminta presiden memerintahkan Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo agar segera melindungi dan menciptakan rasa aman di tengah rakyat Papua.

“Kami menuntut adanya penyelidikan perkara secara akuntabel, mengedepankan rule of law dan prinsip-prinsip hak asasi manusia atas setiap praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Papua,” lanjut pernyataan itu.
Mereka juga menyatakan dukungan dialog damai bagi Papua serta selalu memberikan dukungan moriil kepada saudara-saudara di Papua untuk tetap berjuang meraih kesetaraan di negeri ini.
Papua menjadi ladang subur kekerasan, kata mereka, ketika negara lebih memilih untuk menghadirkan aparat keamanan dalam skala masif, ketimbang meningkatkan derajat warga Papua setara dengan warga negara Indonesia lainnya.
Mereka mencontohkan, dua orang buruh PT. Freeport  tewas dalam aksi demonstrasi serta seorang intel polisi kritis telah menunjukkan fakta aktual yang tidak bisa kita abaikan.
Ratusan orang ditangkap, 3 tewas dan 6 orang lainnya dituduh telah melakukan kegiatan subversif, juga penembakan di Timika yang menyebabkan 3 tewas dan 1 kritis, serta kasus terakhir Kapolsek Mulia, Puncak Jaya juga meninggal akibat ditembak oleh pelaku yang belum diketahui.