23 Juni 2013

Filep Karma dan putrinya, Audryne Karma

Tapol Papua, Filep Karma dan putrinya, Audryne Karma. Foto: Dok Audryne Karma
"Besok Bapa mau pergi kibarkan bendera dan mau orasi sedikit di Lapangan Trikora Abepura, kam dua jaga diri, kalau Bapa dapat tangkap dari polisi tidak usah kuatir, tidak usah lihat Bapa di kantor polisi. Tinggal dirumah saja dan pergi sekolah seperti biasa. Tuhan Yesus jaga kita semua," Itulah kata-kata terakhir Bapa sebelum dia ditangkap.
Nama saya Audryne Karma, putri sulung dari Filep Karma, seorang tahanan politik asal Papua. Bapa saya merupakan alumnus Universitas Sebelas Maret di Solo. Dia menikah dengan Mama, seorang Melayu-Jawa pada 1986. Mereka memiliki dua anak, saya dan adik, Andrefina Karma.
Pada tahun 1998 Bapa saya memulai advokasi untuk kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia dengan cara damai. Tanggal 2 Juli, dia memimpin demonstrasi pro-kemerdekaan Papua Barat dan menaikkan bendera Bintang Kejora di tempat asal kami, Biak, Papua.
Selama 3 hari bendera dikibarkan dan Bapa melakukan orasi. Tanggal 6 Juli militer Indonesia mengambil alih dan melakukan tindakan kekerasan, lebih dari 100 demonstran dibunuh dan beberapa hilang sampai saat ini.
Bapa saya ditembak di kedua kakinya saat dia sedang berdoa ditempat kejadian. Pemerintah Indonesia gagal melakukan investigasi secara mendalam dan bertanggung jawab atas insiden 15 tahun lalu di Pulau Biak. Bapa saya divonis pengadilan 6 tahun penjara, namun 2 tahun kemudian dia dibebaskan setelah Gus Dur jadi presiden pada tahun 2000.
1 Desember 2004, Bapa dan beberapa teman melakukan aksi damai untuk memperingati hari kemerdekaan Papua, Bintang Kejora kembali dinaikkan di lapangan Trikora, Abepura, Jayapura. Polisi merespon dengan memukul orang-orang yang datang serta mengeluarkan tembakan. Sekitar 4 orang terluka, termasuk Bapa. Atas kasus ini, dia dijatuhi hukuman penjara 15 tahun atas tuduhan "makar."
Kasus Bapa mendapat perhatian besar dari sejumlah organisasi hak asasi manusia, nasional maupun internasional. Dia dianggap sebagai aktivis pembela hak asasi manusia dari Papua dan berusaha menyuarakan hati nurani orang papua, yang sering mengalami perlakuan diskriminasi, rasialisme dan penganiayaan.
Pada September 2011, sebuah kelompok kerja PBB, UN Working Group on Arbitary Dentention, mengadili kasus Bapa dan memutuskan dia tidak mendapatkan fair trial serta dinyatakan sebagai tahanan politik. Mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk segera dan tanpa syarat membebaskan Bapa.
Namun, pemerintah menyangkal keberadaan tahanan politik di Indonesia hingga saat ini. Masalah Bapa dibahas lagi dalam sidang Universal Periodic Review PBB di Geneva pada Mei 2012. Belasan negara meminta tahanan politik di Indonesia dibebaskan, sekali lagi pemerintah menolak adanya tahanan politik.
Selama berada di penjara Abepura, Jayapura, Bapa  beberapa kali mengalami masalah kesehatan, mulai dari berat badannya yang turun dari 60 kilogram menjadi 49 kilogram akibat sanitasi dan gizi yang buruk di penjara, mengalami sakit prostat cukup berat, serta radang kronis pada usus besar.
Kami tidak punya banyak uang untuk biaya pengobatan dia, pemerintah juga tidak dapat menjamin biaya pengobatannya, namun beberapa simpatisan individu dan organisasi internasional banyak memberi bantuan sehingga dapat menutupi seluruh pembiayaan.
Sebagai anak dari Filep Karma, saya sedih dan kecewa terhadap pemerintah karena hukuman berat yang diberikan kepada Bapa. Ini memberikan pukulan psikis untuk kami sekeluarga. Kini ada lebih dari 70 tahanan politik di Papua.
Mereka menyuarakan aspirasi politik dengan damai, tanpa kekerasan termasuk Bapa. Sebagai warga negara Indonesia yang bebas mengeluarkan pendapat, saya mohon Anda menuntut pemerintah SBY segera dan tanpa syarat  membebaskan semua tahanan politik Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar