Indonesia menjadi negara paling korups dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik menurut survei persepsi korupsi 2011 terhadap pelaku bisnis. Survei dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong.
Demikian diungkapkan Kepala Satuan Tugas Sosialisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Guntur Kusmeiyano, Rabu (22/2/2012), dalam seminar pemberantasan korupsi di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
“Di mata para pelaku bisnis, Indonesia merupakan negara paling korup di kawasan Asia Pasifik. Ini tentu berkaitan dengan kinerja birokrasi, sehingga persoalannya tidak akan selesai kalau hanya mengandalkan penindakan. Ini harus diatasi dengan mulai membangun komitmen,” kata Guntur.
Guntur menambahkan, di tingkat internasional, indeks persepsi korupsi Indonesia 1,9 dengan indeks 10. “Dengan angka sekecil itu, di mata dunia, Indonesia itu sejajar dengan negara-negara baru yang sampai hari ini masih dililit persoalan peperangan. Inilah dampak parahnya korupsi di Indonesia,” kata Guntur.
kompas.com

" Saya dilahirkan tidak dengan keinginan untuk menjadi orang bebas. Saya dilahirkan sebagai orang bebas. By: Nelson Mandela "Banyak orang akan menjadi kaya di tanah ini, namun kekayaan mereka tidak akan diberkati karena ketamakannya." "Banyak para imigrant datang dan hidup ditanah ini, mereka akan kaget berkat bertaburan disini dan akan lupa nurani dirinya.
05 Maret 2012
Natapei clarifies stand on West Papua
By,Thompson Marango
Father Walter Lini’s vision about the freedom of the colonized people of West Papua when Vanuatu gained its independence has changed after Vanuatu formed diplomatic ties with Indonesia.
According to Deputy Opposition Leader, Edward Natapei, this was why Vanuatu could no longer “say anything we want in United Nations meetings”.
This is Natapei’s clarifications concerning why he could not bring up the Wantok Bill that was passed unopposed in Parliament during the United Nations General Assembly when he was Prime Minister.
This is Natapei’s clarifications concerning why he could not bring up the Wantok Bill that was passed unopposed in Parliament during the United Nations General Assembly when he was Prime Minister.
Natapei made this comment during the Lini Day commemoration at Seaside this week which was also attended by members of the Free West Papua Association and Free West Papua supporters.
“I must say that during Father Walter’s time when he was speaking about the West Papuan issue in international meetings such as the UN, the West Papuan situation was different in a sense that Vanuatu still has no diplomatic relations with Indonesia,” said the Deputy Opposition Leader.
“So we can say anything at the United Nations meetings, unfortunately somewhere along the way we established relations with Indonesia,” he added.
MP Natapei explained that when he was Prime Minister there was a lot of pressure for the government to abide by international rules and protocols which makes it difficult for him to say anything else other than to speak out about the human rights violations in West Papua.
MP Natapei explained that when he was Prime Minister there was a lot of pressure for the government to abide by international rules and protocols which makes it difficult for him to say anything else other than to speak out about the human rights violations in West Papua.
The clarifications came amidst mixed feelings from Free West Papuan supporters as the Wantok Bill which was passed in Parliament during Natapei’s term as prime minister brought along higher hopes concerning the liberation of West Papua from Indonesia.
But Natapei stressed that the decision taken at that time was that the best approach would be to take up the issue in the Melanesian Spearheard Group (MSG) first, then the Pacific Islands Forum, and seek further support from African and Caribbean Nations before the issue can be brought up in the UN meeting.
“Unfortunately when my Government was in power there was no MSG meeting because of the issue of Chairmanship between myself and my friend Bainimarama,” said Natapei.
Meanwhile earlier this year, the deputy opposition leader has told a visiting West Papuan delegation that any future government that includes his Vanua’aku Pati would review the development co-operation agreement with Indonesia.
The agreement also recognizes Indonesian sovereignty over West Papua and states that the signatory countries must not interfere in each other’s internal affairs.
He has also assured that a Vanuatu government led by the Vanu’aku Pati would help West Papua achieve observer status at the Melanesian Spearhead Group and the Pacific Islands Forum.
Labels: indonesia, Politik, west papua
04 Maret 2012
Anggota Parlemen Australia Luncurkan IPWP Region Australia - Pasifik
![]() |
Senator Partai Hijau Beserta anggota parlemen lainnya |
Canbera, KNPBnews. Pertemuan peluncuran Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) chapter Australia dan Pasific yang berlangsung di gedung Parlemen Australia di Canbera, pada 28 Februari 2012 dibagi dalam 3 sesion. Pertemuan awal dilakukan secara tertutup bersama beberapa parlemen dari partai hijau Australia, dimana pemimpin Green Party, Bob Brown melakukan pertemuan tertutup dengan beberapa pemimpin Papua Barat, serta anggota parlemen dari Vanuatu dan New Zealand.
Dalam pertemuan ini pemimpin partai hijau, Bob Brown mengatakan bahwa Parta Hijau di Australia belum berubah sikap terhadap Papua dari dahulu dalam mendukung hak penentuan nasip sendiri bagi bangsa Papua. Partai hijau Australia telah melakuakn percakapan tentang kondisi Papua Barat, diikuti oleh penjelasan tentang komitmen Vanuatu dan New Zealand.
Ralh Regenvanu MP, salah satu anggota Parlemen di Vanuatu mengatakan bahwa rakyat Vanuatu dan anggota-anggota parlemen yang ada di Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua Barat, namun saat ini Pemerintah Vanuatu telah bekerja sama mendukung Papua Barat dalam Indonesia, maka menjadi tugas bagi anggota-anggota parlemen dan rakyat Vanuatu untuk melakukan protes dan memperkuat dukungan bagi kemerdekaan Papua Barat kembali.
Selain itu, Chaterine Delahunty anggota parlemen New Zealand dari partai hijau ikut menyatakan komitmen mendukung isu-isu terkini di Papua Barat, namun juga secara tegas mengatakan untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Papua.
Dalam agenda ini, pengacara Internasional untuk Papua Barat, Jenifer Robinson yang hadir ikut memberikan penjelasan mengenai pentingnya kerja solidaritas IPWP dan ILWP dalam membawa masalah Papua Barat secara legal di tingkat internasional hingga ke Mahkama Internasional.
Pada pukul 10.12 AM, pertemuan terbuka bersama beberapa politisi Australia, anggota-anggota parlemen dari beberapa partai melakukan pertemuan “morning coffee” yang dipimpin oleh Richard Denatallie MP, dimana peluncuran IPWP untuk Australia dan Pasific diluncurkan. Richard mengatakan parlemen akan berupaya mendesak pemerintah Australia menghentikan bantuan militer untuk Indonesia, juga konsen pada pembebasan tahanan politik serta mendesak Jakarta agar membuka akses internasional untuk investigasi di Papua. Selain itu Richard berupaya membangun komunikasi tentang apa yang diinginkan oleh rakyat Papua, termasuk hak penentuan nasip sendiri.
Selang pukul 12.00, dimpimpin oleh Richard Denatalie bersama anggota parlemen dari Vanuatu Ralp Regenvanu MP dan anggota partai hijau dari New Zealand, Chatrine Delahunty serta Rex Rumakiek dari West Papua melakukan konferensi pers terbuka di depan wartawan-wartawan yang memadati ruang conference. Dalam konferensi bersama komunitas Papua yang diundang, masing-masing kembali mempertegas isu-isu yang akan diperjuangkan di tingkap parlemen di masing-masing negara.
Sehari sebelumnya, partai penguasa Australia, Labor Party (Partai Buruh) melalui ketua Craig Emerson mengatakan kepada anggota parlemen mereka tidak harus menghadiri pertemuan Parlemen Internasional untuk Papua Barat, yang diselenggarakan oleh Partai Hijau. Mr. Emerson mengatakan kebijakan pemerintah bahwa provinsi harus tetap bagian dari Indonesia.
Tapi anggota parlemen dari partai itu termasuk Laurie Ferguson dari NSW, Melissa Parke Fremantle dan Claire Moore, Senator Buruh dari Queensland, mengatakan bahwa mereka menghadiri pertemuan.
Seperti yang diberatakan sebelumnya bahwa Gubernur N.C.D (Ketua IPWP di PNG), Powes Parkop MP tidak dapat hadir dan mengagendakan pertemuan IPWP berikutnya di PNG.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment HereAnggota Parlemen Australia Luncurkan IPWP Region Australia - Pasifik
![]() |
Senator Partai Hijau Beserta anggota parlemen lainnya |
Canbera, KNPBnews. Pertemuan peluncuran Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) chapter Australia dan Pasific yang berlangsung di gedung Parlemen Australia di Canbera, pada 28 Februari 2012 dibagi dalam 3 sesion. Pertemuan awal dilakukan secara tertutup bersama beberapa parlemen dari partai hijau Australia, dimana pemimpin Green Party, Bob Brown melakukan pertemuan tertutup dengan beberapa pemimpin Papua Barat, serta anggota parlemen dari Vanuatu dan New Zealand.
Dalam pertemuan ini pemimpin partai hijau, Bob Brown mengatakan bahwa Parta Hijau di Australia belum berubah sikap terhadap Papua dari dahulu dalam mendukung hak penentuan nasip sendiri bagi bangsa Papua. Partai hijau Australia telah melakuakn percakapan tentang kondisi Papua Barat, diikuti oleh penjelasan tentang komitmen Vanuatu dan New Zealand.
Ralh Regenvanu MP, salah satu anggota Parlemen di Vanuatu mengatakan bahwa rakyat Vanuatu dan anggota-anggota parlemen yang ada di Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua Barat, namun saat ini Pemerintah Vanuatu telah bekerja sama mendukung Papua Barat dalam Indonesia, maka menjadi tugas bagi anggota-anggota parlemen dan rakyat Vanuatu untuk melakukan protes dan memperkuat dukungan bagi kemerdekaan Papua Barat kembali.
Selain itu, Chaterine Delahunty anggota parlemen New Zealand dari partai hijau ikut menyatakan komitmen mendukung isu-isu terkini di Papua Barat, namun juga secara tegas mengatakan untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Papua.
Dalam agenda ini, pengacara Internasional untuk Papua Barat, Jenifer Robinson yang hadir ikut memberikan penjelasan mengenai pentingnya kerja solidaritas IPWP dan ILWP dalam membawa masalah Papua Barat secara legal di tingkat internasional hingga ke Mahkama Internasional.
Pada pukul 10.12 AM, pertemuan terbuka bersama beberapa politisi Australia, anggota-anggota parlemen dari beberapa partai melakukan pertemuan “morning coffee” yang dipimpin oleh Richard Denatallie MP, dimana peluncuran IPWP untuk Australia dan Pasific diluncurkan. Richard mengatakan parlemen akan berupaya mendesak pemerintah Australia menghentikan bantuan militer untuk Indonesia, juga konsen pada pembebasan tahanan politik serta mendesak Jakarta agar membuka akses internasional untuk investigasi di Papua. Selain itu Richard berupaya membangun komunikasi tentang apa yang diinginkan oleh rakyat Papua, termasuk hak penentuan nasip sendiri.
Selang pukul 12.00, dimpimpin oleh Richard Denatalie bersama anggota parlemen dari Vanuatu Ralp Regenvanu MP dan anggota partai hijau dari New Zealand, Chatrine Delahunty serta Rex Rumakiek dari West Papua melakukan konferensi pers terbuka di depan wartawan-wartawan yang memadati ruang conference. Dalam konferensi bersama komunitas Papua yang diundang, masing-masing kembali mempertegas isu-isu yang akan diperjuangkan di tingkap parlemen di masing-masing negara.
Sehari sebelumnya, partai penguasa Australia, Labor Party (Partai Buruh) melalui ketua Craig Emerson mengatakan kepada anggota parlemen mereka tidak harus menghadiri pertemuan Parlemen Internasional untuk Papua Barat, yang diselenggarakan oleh Partai Hijau. Mr. Emerson mengatakan kebijakan pemerintah bahwa provinsi harus tetap bagian dari Indonesia.
Tapi anggota parlemen dari partai itu termasuk Laurie Ferguson dari NSW, Melissa Parke Fremantle dan Claire Moore, Senator Buruh dari Queensland, mengatakan bahwa mereka menghadiri pertemuan.
Seperti yang diberatakan sebelumnya bahwa Gubernur N.C.D (Ketua IPWP di PNG), Powes Parkop MP tidak dapat hadir dan mengagendakan pertemuan IPWP berikutnya di PNG.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment HereDewan Gereja se Dunia "Keluarkan Statement Masalah Papua Jadi Agenda Internasional"
![]() |
Pdt. Dr. SAE. Nababan (foto bosak) |
JUBI--- Presiden Dewan Gereja se Dunia (GDD), Pdt. Dr. SAE. Nababan mengatakan DGD sejak awal terus mengikuti perkembangan di tanah Papua. Bahkan dia mengakui tiga minggu lalu, komite eksekutif DGD telah mengeluarkan statemen tentang masalah Papua untuk di angkat dalam agenda internasional.
“Bahwa aspirasi masyarakat Papua untuk tentukan nasib sendiri telah diungkap secara bertahun-tahun. Dalam statemen komite eksekutif DGD itu juga menyebutkan PBB untuk segera campur tangan terhadap masalah Papua untuk mengawasi referendum. Situasi di Tanah Papua yang memburuk karena peningkatan kekerasan dimana terjadi penggunaan kekuatan secara brutal.”tutur Nababan saat pertemuan dengan tokoh agama dan masyarakat di Gereja Paulus Dok V, Jumat(2/3).Nababan menambahkan kalau statemen itu telah disebarkan ke seluruh dunia, bahkan sampai juga ke Indonesia.
Sementara itu Moderator Presidium Dewan Papua (PDP), Pdt. Herman Awom berharap agar Dewan Gereja Sedunia (DGD) harus membuka kembali file-file tentang perjuangan Papua yang pernah diangkat untuk dibicarakan dalam agenda internasional.
“Selama ini di Papua terjadi pembiaran dan umat di tanah Papua menjadi bingung.Pasalnya gereja sebagai tempat umat percaya menjadi ambivalen untuk politik Jakarta,”tutur Awom.
Pdt. Herman Awom yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua menegaskan hal itu dihadapan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. Andreas Yawanggoe dan Presiden Dewan Gereja Sedunia (DGD), Pdt. Dr. SAE. Nababan yang sengaja hadir di Papua untuk membangun persepsi bersama, karena ada kecenderungan ada upaya untuk mempolarisasi Gereja-Gereja di Tanah Papua.
“Saya minta Pak Nababan sebagai Presiden Dewan Gereja se Dunia untuk membantu kami membuka kembali file-file GKI tentang perjuangan Papua. Periksa secara baik, kami punya surat-surat GKI ke Dewan Gereja se Dunia,” ungkap Pdt. Awom.
Menurut Pdt. Awom, Gereja sebagai tempat umat percaya menjadi ambivalen untuk politik Jakarta. Itu sebabnya dia berharap kepada PGI dan DGD untuk bagaimana bertemu dengan Presiden Republik Indonesia dan pihak terkait untuk meluruskan dan sekaligus mengklarifikasi bahwa ada upaya sistematis yang dilakukan oleh alat keamanan untuk mempolarisasi gereja-gereja di tanah Papua.
Karena fakta beberapa waktu lalu, ada sejumlah pendeta-pendeta yang mengatasnamakan dari gereja di Papua menghadap Presiden Republik Indonesia (RI), namun kenyataannya mereka dinilai Awom dan forum pertemuan di Gereja Paulus Dok V menolak kehadiran mereka dan tidak representative mewakili gereja-gereja di Papua.
Ketua Umum Persekutian Gereja di Indonesia(PGI), Pdt. Dr. Andreas Yawanggoe mengaku bahwa perkunjungn mereka ke Papua adalah kunjungan pastoral di mana juga pasti punya dampak politik.
“Kami PGI melihat dua pertemuan oleh pihak gereja-gereja di Papua dengan Presiden beberapa waktu lalu, bahwa dua pertemuan itu tidak sejalan. Persepsi awal kami dua kali pertemuan itu, tidak sejiwa,” evaluasi Yawanggoe. Namun demikian, Yawanggoe mengakui bahwa berbicara masalah Papua, sudah menjadi masalah Internasional. (Jubi/Roberth Wanggai)
Dewan Gereja se Dunia "Keluarkan Statement Masalah Papua Jadi Agenda Internasional"
![]() |
Pdt. Dr. SAE. Nababan (foto bosak) |
JUBI--- Presiden Dewan Gereja se Dunia (GDD), Pdt. Dr. SAE. Nababan mengatakan DGD sejak awal terus mengikuti perkembangan di tanah Papua. Bahkan dia mengakui tiga minggu lalu, komite eksekutif DGD telah mengeluarkan statemen tentang masalah Papua untuk di angkat dalam agenda internasional.
“Bahwa aspirasi masyarakat Papua untuk tentukan nasib sendiri telah diungkap secara bertahun-tahun. Dalam statemen komite eksekutif DGD itu juga menyebutkan PBB untuk segera campur tangan terhadap masalah Papua untuk mengawasi referendum. Situasi di Tanah Papua yang memburuk karena peningkatan kekerasan dimana terjadi penggunaan kekuatan secara brutal.”tutur Nababan saat pertemuan dengan tokoh agama dan masyarakat di Gereja Paulus Dok V, Jumat(2/3).Nababan menambahkan kalau statemen itu telah disebarkan ke seluruh dunia, bahkan sampai juga ke Indonesia.
Sementara itu Moderator Presidium Dewan Papua (PDP), Pdt. Herman Awom berharap agar Dewan Gereja Sedunia (DGD) harus membuka kembali file-file tentang perjuangan Papua yang pernah diangkat untuk dibicarakan dalam agenda internasional.
“Selama ini di Papua terjadi pembiaran dan umat di tanah Papua menjadi bingung.Pasalnya gereja sebagai tempat umat percaya menjadi ambivalen untuk politik Jakarta,”tutur Awom.
Pdt. Herman Awom yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua menegaskan hal itu dihadapan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. Andreas Yawanggoe dan Presiden Dewan Gereja Sedunia (DGD), Pdt. Dr. SAE. Nababan yang sengaja hadir di Papua untuk membangun persepsi bersama, karena ada kecenderungan ada upaya untuk mempolarisasi Gereja-Gereja di Tanah Papua.
“Saya minta Pak Nababan sebagai Presiden Dewan Gereja se Dunia untuk membantu kami membuka kembali file-file GKI tentang perjuangan Papua. Periksa secara baik, kami punya surat-surat GKI ke Dewan Gereja se Dunia,” ungkap Pdt. Awom.
Menurut Pdt. Awom, Gereja sebagai tempat umat percaya menjadi ambivalen untuk politik Jakarta. Itu sebabnya dia berharap kepada PGI dan DGD untuk bagaimana bertemu dengan Presiden Republik Indonesia dan pihak terkait untuk meluruskan dan sekaligus mengklarifikasi bahwa ada upaya sistematis yang dilakukan oleh alat keamanan untuk mempolarisasi gereja-gereja di tanah Papua.
Karena fakta beberapa waktu lalu, ada sejumlah pendeta-pendeta yang mengatasnamakan dari gereja di Papua menghadap Presiden Republik Indonesia (RI), namun kenyataannya mereka dinilai Awom dan forum pertemuan di Gereja Paulus Dok V menolak kehadiran mereka dan tidak representative mewakili gereja-gereja di Papua.
Ketua Umum Persekutian Gereja di Indonesia(PGI), Pdt. Dr. Andreas Yawanggoe mengaku bahwa perkunjungn mereka ke Papua adalah kunjungan pastoral di mana juga pasti punya dampak politik.
“Kami PGI melihat dua pertemuan oleh pihak gereja-gereja di Papua dengan Presiden beberapa waktu lalu, bahwa dua pertemuan itu tidak sejalan. Persepsi awal kami dua kali pertemuan itu, tidak sejiwa,” evaluasi Yawanggoe. Namun demikian, Yawanggoe mengakui bahwa berbicara masalah Papua, sudah menjadi masalah Internasional. (Jubi/Roberth Wanggai)
Dewan Gereja se Dunia "Keluarkan Statement Masalah Papua Jadi Agenda Internasional"
![]() |
Pdt. Dr. SAE. Nababan (foto bosak) |
JUBI--- Presiden Dewan Gereja se Dunia (GDD), Pdt. Dr. SAE. Nababan mengatakan DGD sejak awal terus mengikuti perkembangan di tanah Papua. Bahkan dia mengakui tiga minggu lalu, komite eksekutif DGD telah mengeluarkan statemen tentang masalah Papua untuk di angkat dalam agenda internasional.
“Bahwa aspirasi masyarakat Papua untuk tentukan nasib sendiri telah diungkap secara bertahun-tahun. Dalam statemen komite eksekutif DGD itu juga menyebutkan PBB untuk segera campur tangan terhadap masalah Papua untuk mengawasi referendum. Situasi di Tanah Papua yang memburuk karena peningkatan kekerasan dimana terjadi penggunaan kekuatan secara brutal.”tutur Nababan saat pertemuan dengan tokoh agama dan masyarakat di Gereja Paulus Dok V, Jumat(2/3).Nababan menambahkan kalau statemen itu telah disebarkan ke seluruh dunia, bahkan sampai juga ke Indonesia.
Sementara itu Moderator Presidium Dewan Papua (PDP), Pdt. Herman Awom berharap agar Dewan Gereja Sedunia (DGD) harus membuka kembali file-file tentang perjuangan Papua yang pernah diangkat untuk dibicarakan dalam agenda internasional.
“Selama ini di Papua terjadi pembiaran dan umat di tanah Papua menjadi bingung.Pasalnya gereja sebagai tempat umat percaya menjadi ambivalen untuk politik Jakarta,”tutur Awom.
Pdt. Herman Awom yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua menegaskan hal itu dihadapan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. Andreas Yawanggoe dan Presiden Dewan Gereja Sedunia (DGD), Pdt. Dr. SAE. Nababan yang sengaja hadir di Papua untuk membangun persepsi bersama, karena ada kecenderungan ada upaya untuk mempolarisasi Gereja-Gereja di Tanah Papua.
“Saya minta Pak Nababan sebagai Presiden Dewan Gereja se Dunia untuk membantu kami membuka kembali file-file GKI tentang perjuangan Papua. Periksa secara baik, kami punya surat-surat GKI ke Dewan Gereja se Dunia,” ungkap Pdt. Awom.
Menurut Pdt. Awom, Gereja sebagai tempat umat percaya menjadi ambivalen untuk politik Jakarta. Itu sebabnya dia berharap kepada PGI dan DGD untuk bagaimana bertemu dengan Presiden Republik Indonesia dan pihak terkait untuk meluruskan dan sekaligus mengklarifikasi bahwa ada upaya sistematis yang dilakukan oleh alat keamanan untuk mempolarisasi gereja-gereja di tanah Papua.
Karena fakta beberapa waktu lalu, ada sejumlah pendeta-pendeta yang mengatasnamakan dari gereja di Papua menghadap Presiden Republik Indonesia (RI), namun kenyataannya mereka dinilai Awom dan forum pertemuan di Gereja Paulus Dok V menolak kehadiran mereka dan tidak representative mewakili gereja-gereja di Papua.
Ketua Umum Persekutian Gereja di Indonesia(PGI), Pdt. Dr. Andreas Yawanggoe mengaku bahwa perkunjungn mereka ke Papua adalah kunjungan pastoral di mana juga pasti punya dampak politik.
“Kami PGI melihat dua pertemuan oleh pihak gereja-gereja di Papua dengan Presiden beberapa waktu lalu, bahwa dua pertemuan itu tidak sejalan. Persepsi awal kami dua kali pertemuan itu, tidak sejiwa,” evaluasi Yawanggoe. Namun demikian, Yawanggoe mengakui bahwa berbicara masalah Papua, sudah menjadi masalah Internasional. (Jubi/Roberth Wanggai)
Langganan:
Postingan (Atom)