20 November 2011

17 November, 2011

Hasrat Referendum Untuk Papua Merdeka

Prof.Ikrar Nusa Bhakti
Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
Diberikannya referendum bagi Timor Timur (Kini Timor Leste) untuk menentukan nasib sendiri apakah akan tetap berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ataukah memilih berpisah pada 1999, telah memberi inspirasi bagi sebagian orang Papua (dan Aceh) untuk juga diberikan hak yang sama.
Bagi orang Papua, kalau Timor Timur yang jumlah penduduk dan geografisnya jauh lebih kecil dan lebih miskin dari Papua saja bisa merdeka, mengapa Papua tidak? Sementara di sebelah timur Papua, yakni Papua Niugini (PNG) yang sama-sama berumpun Melanesia dengan Orang Papua, sudah menjadi negara merdeka diberikan oleh Australia sejak 16 September 1975.
Ketika UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua diberlakukan sejak 2002, orang Papua pun terbelah antara yang memilih jalur O (Otonomi) dan jalur M (Merdeka). Bagi sebagian elite Papua yang memilih jalur M, merdeka bukanlah suatu yang perlu dipersiapkan. Segalanya bisa diatasi begitu mereka merdeka.

Bagi mereka, merdeka berarti mereka dapat menikmati alam kebebasan dari tindakan aparat TNI atau Polri yang kadang luar biasa tidak manusiawinya terhadap orang-orang Papua. Ada juga yang melihat bahwa merdeka berarti mereka tidak perlu bekerja. Merdeka juga berarti bahwa pemerintah harus memberikan segalanya kepada rakyat termasuk membangun dan memelihara rumah bagi rakyat.
Kemerdekaan memang dipersepsikan macam-macam oleh orang Papua, baik mereka yang berpikir secara sederhana maupun yang sudah berpikir secara komprehensif dan rumit.
Bagi mereka yang memilih jalur O, kemerdekaan Papua bukanlah sesuatu yang mudah. Selama ini mereka juga sudah menyatu di alam kemerdekaan bersama Indonesia. Kini tinggal bagaimana mereka secara bersama mengisi kemerdekaan dalam bingkai NKRI. Tapi pada saat yang sama mereka juga sangat kritis pada aparat keamanan yang bertindak sewenang-wenang terhadap sesama saudara sebangsa dan setanah air asal Papua.
Dalam konteks ini mereka juga masih ingat akan kata-kata Marcus Kaisiepo, anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) asal Biak yang menulis di majalah Penjoeloeh (Penyuluh) edisi September 1945 yang diterbitkan para Eks-Digulis (Tahanan Politik Indonesia yang dibuang Belanda di Boven Digul) di Brisbane, Australia yang antara lain berbunyi: “Sekarang adalah zaman kemerdekaan. Orang Indonesia dan Orang Papua adalah Saudara. Orang Indonesia jangan menguasai jabatan dan kedudukan. Jangan pula menguasai kekayaan di Papua. Selama persoalan-persoalan tersebut masih ada, antara orang Indonesia dan orang Papua akan selalu ada persoalan.” Kalimat itu masih dapat kita baca di buku karya almarhum A. Mampioper, Jayapura Dalam Perang Pasifik.
Gerakan Papua Merdeka sejak Mei 1998 telah berubah dari pendekatan sporadik para militer yang menyerang pos-pos ABRI dan Polisi, menjadi suatu gerakan politik. Awalnya mereka ikut dalam Jakarta Informal Meeting (JIM) di kantor Wakil Presiden RI pada November 1998 yang difasilitasi Sekretariat Negara.
Kelompok elite Papua dikoordinasi oleh Willy Mandowen, dosen bahasa Inggris di FKIP-Universitas Cendrawasih dalam suatu organisasi bernama Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian (FORERI).
Singkat kata, para elite politik, budaya dan agama asal Papua yang bernama Tim 100 pimpinan Tom Beanal, bertemu Presiden B.J. Habibie pada Februari 1999. Pada pertemuan itu mereka menyatakan Papua ingin menarik diri dari Republik Indonesia.
Mereka juga tidak mengganggu NKRI karena toh setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, NKRI juga tidak mengalami gejolak. Sikap keras mereka ini yang kemudian membuat pemerintah pusat di Jakarta merasa enggan berdialog lagi dengan para elite Papua.
Dulu, gerakan Papua Merdeka mendapatkan simpati dari negara-negara berumpun Melanesia (PNG, Vanuatu, Fiji, Solomon Islands) yang tergabung dalam Melanesian Sperhead Group (MSG) ditambah Nauru yang masuk wilayah Polinesia. Mereka juga didukung kelompok gereja seperti Melanesian Council of Churches dan Australian Council of Churches. Kini dukungan itu semakin kecil.
Dukungan kini malah datang dari gereja di AS, International Lawyers for West Papua, International Parliament for West Papua yang mengadakan seminar kecil di Oxford pada 2 Agustus 2011 bertajuk “Papua: Road to Freedom.”
Mereka juga menggunakan jaringan East Timor and Indonesia Alert Network (ETAN) yang dulu membantu kemerdekaan Timor Timur. Tapi di Australia kini semakin kecil dukungan terhadap Papua merdeka. Sebagai negara, Australia juga terikat Traktat Lombok yang ditandatangani dengan Indonesia pada 13 Oktober 2006.
Prinsip utama dari perjanjian keamanan itu adalah “Kedua negara tidak boleh membantu atau memberikan tempat di wilayahnya untuk mendukung gerakan-gerakan separatisme yang ada di kedua negara.”
Hingga kini tidak ada negara yang terang-terangan mendukung Papua Merdeka. Tapi, bila kebrutalan TNI dan Polri terhadap orang-orang Papua semakin menjadi-jadi, bukan mustahil negara-negara barat seperti AS, negara-negara Eropa Barat dan Australia menerapkan Humanitarian Intervention untuk membantu kemerdekaan Papua.
Atas nama Responsibility to Protect bisa saja Barat mendukung kemerdekaan Papua, seperti halnya mereka mendukung kemerdekaan Kosovo.

17 November, 2011

Hasrat Referendum Untuk Papua Merdeka

Prof.Ikrar Nusa Bhakti
Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
Diberikannya referendum bagi Timor Timur (Kini Timor Leste) untuk menentukan nasib sendiri apakah akan tetap berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ataukah memilih berpisah pada 1999, telah memberi inspirasi bagi sebagian orang Papua (dan Aceh) untuk juga diberikan hak yang sama.
Bagi orang Papua, kalau Timor Timur yang jumlah penduduk dan geografisnya jauh lebih kecil dan lebih miskin dari Papua saja bisa merdeka, mengapa Papua tidak? Sementara di sebelah timur Papua, yakni Papua Niugini (PNG) yang sama-sama berumpun Melanesia dengan Orang Papua, sudah menjadi negara merdeka diberikan oleh Australia sejak 16 September 1975.
Ketika UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua diberlakukan sejak 2002, orang Papua pun terbelah antara yang memilih jalur O (Otonomi) dan jalur M (Merdeka). Bagi sebagian elite Papua yang memilih jalur M, merdeka bukanlah suatu yang perlu dipersiapkan. Segalanya bisa diatasi begitu mereka merdeka.

Bagi mereka, merdeka berarti mereka dapat menikmati alam kebebasan dari tindakan aparat TNI atau Polri yang kadang luar biasa tidak manusiawinya terhadap orang-orang Papua. Ada juga yang melihat bahwa merdeka berarti mereka tidak perlu bekerja. Merdeka juga berarti bahwa pemerintah harus memberikan segalanya kepada rakyat termasuk membangun dan memelihara rumah bagi rakyat.
Kemerdekaan memang dipersepsikan macam-macam oleh orang Papua, baik mereka yang berpikir secara sederhana maupun yang sudah berpikir secara komprehensif dan rumit.
Bagi mereka yang memilih jalur O, kemerdekaan Papua bukanlah sesuatu yang mudah. Selama ini mereka juga sudah menyatu di alam kemerdekaan bersama Indonesia. Kini tinggal bagaimana mereka secara bersama mengisi kemerdekaan dalam bingkai NKRI. Tapi pada saat yang sama mereka juga sangat kritis pada aparat keamanan yang bertindak sewenang-wenang terhadap sesama saudara sebangsa dan setanah air asal Papua.
Dalam konteks ini mereka juga masih ingat akan kata-kata Marcus Kaisiepo, anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) asal Biak yang menulis di majalah Penjoeloeh (Penyuluh) edisi September 1945 yang diterbitkan para Eks-Digulis (Tahanan Politik Indonesia yang dibuang Belanda di Boven Digul) di Brisbane, Australia yang antara lain berbunyi: “Sekarang adalah zaman kemerdekaan. Orang Indonesia dan Orang Papua adalah Saudara. Orang Indonesia jangan menguasai jabatan dan kedudukan. Jangan pula menguasai kekayaan di Papua. Selama persoalan-persoalan tersebut masih ada, antara orang Indonesia dan orang Papua akan selalu ada persoalan.” Kalimat itu masih dapat kita baca di buku karya almarhum A. Mampioper, Jayapura Dalam Perang Pasifik.
Gerakan Papua Merdeka sejak Mei 1998 telah berubah dari pendekatan sporadik para militer yang menyerang pos-pos ABRI dan Polisi, menjadi suatu gerakan politik. Awalnya mereka ikut dalam Jakarta Informal Meeting (JIM) di kantor Wakil Presiden RI pada November 1998 yang difasilitasi Sekretariat Negara.
Kelompok elite Papua dikoordinasi oleh Willy Mandowen, dosen bahasa Inggris di FKIP-Universitas Cendrawasih dalam suatu organisasi bernama Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian (FORERI).
Singkat kata, para elite politik, budaya dan agama asal Papua yang bernama Tim 100 pimpinan Tom Beanal, bertemu Presiden B.J. Habibie pada Februari 1999. Pada pertemuan itu mereka menyatakan Papua ingin menarik diri dari Republik Indonesia.
Mereka juga tidak mengganggu NKRI karena toh setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, NKRI juga tidak mengalami gejolak. Sikap keras mereka ini yang kemudian membuat pemerintah pusat di Jakarta merasa enggan berdialog lagi dengan para elite Papua.
Dulu, gerakan Papua Merdeka mendapatkan simpati dari negara-negara berumpun Melanesia (PNG, Vanuatu, Fiji, Solomon Islands) yang tergabung dalam Melanesian Sperhead Group (MSG) ditambah Nauru yang masuk wilayah Polinesia. Mereka juga didukung kelompok gereja seperti Melanesian Council of Churches dan Australian Council of Churches. Kini dukungan itu semakin kecil.
Dukungan kini malah datang dari gereja di AS, International Lawyers for West Papua, International Parliament for West Papua yang mengadakan seminar kecil di Oxford pada 2 Agustus 2011 bertajuk “Papua: Road to Freedom.”
Mereka juga menggunakan jaringan East Timor and Indonesia Alert Network (ETAN) yang dulu membantu kemerdekaan Timor Timur. Tapi di Australia kini semakin kecil dukungan terhadap Papua merdeka. Sebagai negara, Australia juga terikat Traktat Lombok yang ditandatangani dengan Indonesia pada 13 Oktober 2006.
Prinsip utama dari perjanjian keamanan itu adalah “Kedua negara tidak boleh membantu atau memberikan tempat di wilayahnya untuk mendukung gerakan-gerakan separatisme yang ada di kedua negara.”
Hingga kini tidak ada negara yang terang-terangan mendukung Papua Merdeka. Tapi, bila kebrutalan TNI dan Polri terhadap orang-orang Papua semakin menjadi-jadi, bukan mustahil negara-negara barat seperti AS, negara-negara Eropa Barat dan Australia menerapkan Humanitarian Intervention untuk membantu kemerdekaan Papua.
Atas nama Responsibility to Protect bisa saja Barat mendukung kemerdekaan Papua, seperti halnya mereka mendukung kemerdekaan Kosovo.

17 November, 2011

Hasrat Referendum Untuk Papua Merdeka

Prof.Ikrar Nusa Bhakti
Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
Diberikannya referendum bagi Timor Timur (Kini Timor Leste) untuk menentukan nasib sendiri apakah akan tetap berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ataukah memilih berpisah pada 1999, telah memberi inspirasi bagi sebagian orang Papua (dan Aceh) untuk juga diberikan hak yang sama.
Bagi orang Papua, kalau Timor Timur yang jumlah penduduk dan geografisnya jauh lebih kecil dan lebih miskin dari Papua saja bisa merdeka, mengapa Papua tidak? Sementara di sebelah timur Papua, yakni Papua Niugini (PNG) yang sama-sama berumpun Melanesia dengan Orang Papua, sudah menjadi negara merdeka diberikan oleh Australia sejak 16 September 1975.
Ketika UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua diberlakukan sejak 2002, orang Papua pun terbelah antara yang memilih jalur O (Otonomi) dan jalur M (Merdeka). Bagi sebagian elite Papua yang memilih jalur M, merdeka bukanlah suatu yang perlu dipersiapkan. Segalanya bisa diatasi begitu mereka merdeka.

Bagi mereka, merdeka berarti mereka dapat menikmati alam kebebasan dari tindakan aparat TNI atau Polri yang kadang luar biasa tidak manusiawinya terhadap orang-orang Papua. Ada juga yang melihat bahwa merdeka berarti mereka tidak perlu bekerja. Merdeka juga berarti bahwa pemerintah harus memberikan segalanya kepada rakyat termasuk membangun dan memelihara rumah bagi rakyat.
Kemerdekaan memang dipersepsikan macam-macam oleh orang Papua, baik mereka yang berpikir secara sederhana maupun yang sudah berpikir secara komprehensif dan rumit.
Bagi mereka yang memilih jalur O, kemerdekaan Papua bukanlah sesuatu yang mudah. Selama ini mereka juga sudah menyatu di alam kemerdekaan bersama Indonesia. Kini tinggal bagaimana mereka secara bersama mengisi kemerdekaan dalam bingkai NKRI. Tapi pada saat yang sama mereka juga sangat kritis pada aparat keamanan yang bertindak sewenang-wenang terhadap sesama saudara sebangsa dan setanah air asal Papua.
Dalam konteks ini mereka juga masih ingat akan kata-kata Marcus Kaisiepo, anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) asal Biak yang menulis di majalah Penjoeloeh (Penyuluh) edisi September 1945 yang diterbitkan para Eks-Digulis (Tahanan Politik Indonesia yang dibuang Belanda di Boven Digul) di Brisbane, Australia yang antara lain berbunyi: “Sekarang adalah zaman kemerdekaan. Orang Indonesia dan Orang Papua adalah Saudara. Orang Indonesia jangan menguasai jabatan dan kedudukan. Jangan pula menguasai kekayaan di Papua. Selama persoalan-persoalan tersebut masih ada, antara orang Indonesia dan orang Papua akan selalu ada persoalan.” Kalimat itu masih dapat kita baca di buku karya almarhum A. Mampioper, Jayapura Dalam Perang Pasifik.
Gerakan Papua Merdeka sejak Mei 1998 telah berubah dari pendekatan sporadik para militer yang menyerang pos-pos ABRI dan Polisi, menjadi suatu gerakan politik. Awalnya mereka ikut dalam Jakarta Informal Meeting (JIM) di kantor Wakil Presiden RI pada November 1998 yang difasilitasi Sekretariat Negara.
Kelompok elite Papua dikoordinasi oleh Willy Mandowen, dosen bahasa Inggris di FKIP-Universitas Cendrawasih dalam suatu organisasi bernama Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian (FORERI).
Singkat kata, para elite politik, budaya dan agama asal Papua yang bernama Tim 100 pimpinan Tom Beanal, bertemu Presiden B.J. Habibie pada Februari 1999. Pada pertemuan itu mereka menyatakan Papua ingin menarik diri dari Republik Indonesia.
Mereka juga tidak mengganggu NKRI karena toh setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, NKRI juga tidak mengalami gejolak. Sikap keras mereka ini yang kemudian membuat pemerintah pusat di Jakarta merasa enggan berdialog lagi dengan para elite Papua.
Dulu, gerakan Papua Merdeka mendapatkan simpati dari negara-negara berumpun Melanesia (PNG, Vanuatu, Fiji, Solomon Islands) yang tergabung dalam Melanesian Sperhead Group (MSG) ditambah Nauru yang masuk wilayah Polinesia. Mereka juga didukung kelompok gereja seperti Melanesian Council of Churches dan Australian Council of Churches. Kini dukungan itu semakin kecil.
Dukungan kini malah datang dari gereja di AS, International Lawyers for West Papua, International Parliament for West Papua yang mengadakan seminar kecil di Oxford pada 2 Agustus 2011 bertajuk “Papua: Road to Freedom.”
Mereka juga menggunakan jaringan East Timor and Indonesia Alert Network (ETAN) yang dulu membantu kemerdekaan Timor Timur. Tapi di Australia kini semakin kecil dukungan terhadap Papua merdeka. Sebagai negara, Australia juga terikat Traktat Lombok yang ditandatangani dengan Indonesia pada 13 Oktober 2006.
Prinsip utama dari perjanjian keamanan itu adalah “Kedua negara tidak boleh membantu atau memberikan tempat di wilayahnya untuk mendukung gerakan-gerakan separatisme yang ada di kedua negara.”
Hingga kini tidak ada negara yang terang-terangan mendukung Papua Merdeka. Tapi, bila kebrutalan TNI dan Polri terhadap orang-orang Papua semakin menjadi-jadi, bukan mustahil negara-negara barat seperti AS, negara-negara Eropa Barat dan Australia menerapkan Humanitarian Intervention untuk membantu kemerdekaan Papua.
Atas nama Responsibility to Protect bisa saja Barat mendukung kemerdekaan Papua, seperti halnya mereka mendukung kemerdekaan Kosovo.

Dukungan Politik Oleh Pemerintah AS bagi Referendum Papua Barat

15 November, 2011

Pemerintah AS Sedang Upayakan Referendum bagi Papua

http://www.intelijen.co.id - Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalagewa harus menyatakan protes atas pernyataan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton yang khawatir kondisi HAM di Papua.
"Pernyataan Hillary sudah intervensi AS ke Indonesia," kata pengamat intelijen AC Manullang seperti diberitakan indonesiatoday.in, Senin, 14 November 2011.

Menurut AC Manullang, Pemerintah AS sudah menerapkan strategi HAM untuk melepaskan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "HAM akan dijadikan alasan AS mengajukan referendum bagi rakyat Papua," jelasnya.
Kata Manullang, akibat pernyataan Hillary, negara-negara Eropa maupun kelompok pendukung Papua di berbagai negara akan mendesak Indonesia untuk melakukan referendum bagi Papua.

"Di dunia internasional sudah diopinikan, perlunya referendum bagi Papua karena sudah banyak pelanggaran HAM," papar Manullang.
Dalam menyikapi pernyataan Menlu AS ini, kata Manullang, Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas dengan AS.

"Saya usulkan Menlu Indonesia mengirim surat protes kepada pemerintah AS karena telah melakukan intervensi kedaulatan Bangsa Indonesia," jelasnya.
Lanjutnya, sikap tegas Indonesia akan berakibat positif bagi Pemerintahan SBY yang akhir-akhir turun mendapat dukungan dari masyarakat.

"Kalau pemerintah SBY bersikap tegas terhadap AS, rakyat Indonesia akan mendukungnya," pungkas Manullang.
Sebelumnya, Pemerintah Amerika Serikat, Melalui Menteri Luar Negeri, Hillary Clinton menanggapi berbagai gejolak yang terus berlangsung di Papua. Hillary Clinton, pada Jum'at, 11 November 2011, menyampaikan kekhawatiran mengenai kondisi HAM di Papua. Mantan ibu negara AS ini menyerukan adanya dialog untuk memenuhi aspirasi rakyat di wilayah konflik tersebut.

Dukungan Politik By Tuan Eni Flamovaega and Donal Payne

17 November, 2011

Indonesia: Langkahi dan mengakhiri pelanggaran sistematis di Papua Barat

Eni F.H. Faleomavaega
Donald M. Payne
Washington, DC, Menjelang kunjungannya ke Bali, anggota Kongres yang menyerukan kepada Presiden AS Barack Obama untuk membuat Papua Barat salah satu prioritas selama perundingan mendatang dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 19 Oktober 2011, pasukan keamanan Indonesia menembaki Papua Barat tak bersenjata yang berkumpul di Kongres Papua ketiga Rakyat secara damai udara aspirasi politik mereka. 
Setidaknya tiga orang asli Papua tewas, puluhan terluka, dan pistol banyak dicambuk dan dipukuli dengan tongkat rotan. Enam ditahan dan kini dalam tahanan, termasuk Forkorus Yaboisembut, presiden baru terpilih Republik Federal Negara Papua Barat. Dia bergabung Filep Karma, seorang Amnesty International tahanan hati nurani yang kini menjalani hukuman 15 tahun penjara karena mengibarkan bendera pada tahun 2004.


Pemimpin kunci di Kongres AS menyerukan pembebasan mereka dan meminta bahwa Indonesia harus bertanggung jawab sebelum lanjut AS dana dikeluarkan dalam pelatihan pasukan keamanan Indonesia. Indonesia menyangkal bahwa pelecehan yang sistematis terjadi di Papua Barat, tetapi sejarah yang jelas pada titik.
Karena Papua Barat diserahkan ke Indonesia oleh "Act of Choice Tidak" dari 1969, orang Papua Barat telah menderita pelanggaran hak asasi manusia terang-terangan termasuk eksekusi di luar hukum, penjara, degradasi lingkungan, eksploitasi sumber daya alam dan dominasi komersial komunitas imigran.

Departemen Luar Negeri AS mengakui fakta-fakta dan menyatakan lebih lanjut bahwa bahasa Indonesia "anggota pasukan keamanan [telah] dibunuh, disiksa, diperkosa warga sipil, dipukuli dan sewenang-wenang ditahan dan anggota gerakan separatis di Papua".

Sampai saat ini, Yudhoyono tidak bersedia atau tidak mampu mengambil tindakan yang berarti untuk membawa pasukan keamanan Indonesia di bawah kontrol. Either way, kelambanan Bush tidak lagi dapat diterima. Sementara kita telah secara terbuka menyatakan bahwa kami tidak mendukung kemerdekaan karena itu bertentangan dengan posisi resmi pemerintah AS, yang membutuhkan Indonesia sebagai penyeimbang ke China, dan juga karena Yudhoyono berjanji pada tahun 2005 bahwa ia akan menerapkan otonomi khusus, yang pada waktu orang Papua Barat yang didukung, AS tidak bisa lagi menutup mata untuk memperlambat gerak genosida.

Dalam pernyataannya sebelum PBB melawan apartheid, Nelson Mandela mengatakan, "Ini akan selamanya tetap merupakan tuduhan dan tantangan kepada semua pria dan wanita hati nurani yang itu begitu lama karena memiliki sebelum kita semua berdiri untuk mengatakan sudah cukup." Hal yang sama dapat dikatakan dari Papua Barat.

Pada tahun 1990, Nelson Mandela juga mengingatkan PBB bahwa ketika "pertama kali membahas masalah Afrika Selatan pada tahun 1946, itu membahas isu rasisme." Pada isu Papua Barat, kami percaya bahwa kami sedang membahas sama.
Papua Barat berbeda ras, budaya, dan etnis dari mayoritas penduduk Indonesia. Papua Barat diyakini keturunan Afrika dan etnis terkait dengan orang-orang yang sekarang menghuni Vanuatu dan Kepulauan Solomon. Papua Barat tidak memiliki hubungan sejarah atau budaya kepada orang-orang Melayu Jawa, Sumatera dan Bali. Itu hanya dipaksa kolonisasi oleh pemerintah Belanda yang membawa orang Papua Barat dan Indonesia bersama-sama.

Jadi, untuk mengatasi masalah rasisme di Indonesia, kami meminta negara-negara Afrika untuk meminta peninjauan Majelis Umum dari Undang-Undang 1969 jika SBY gagal untuk segera mengimplementasikan otonomi khusus dan juga melepaskan para tahanan politik sekarang sedang ditahan.
Singkatnya, Yudhoyono harus mendapatkan serius tentang otonomi khusus atau kita harus menuntut hak Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri. Dengan pilihan atau dengan sanksi, Indonesia harus maju dan mengakhiri pelanggaran sistematis di Papua Barat.

Eni FH Faleomavaega adalah anggota peringkat, Sub-komite di Asia dan Pasifik. Donald M. Payne adalah anggota peringkat, Afrika Sub-komite dan HAM, DPR AS.

01 Agustus 2011

Kalau Saja Hati Orang Pusat Bersih...

Balthasar: Kalau Saja Hati Orang Pusat Bersih...
Kamis, 29 Juli 2010, 17:03:48 WIB
Laporan: Sugeng Triono


Jakarta, RMOL. Sampai sekarang, pemerintah pusat republik ini masih menaruh rasa curiga dan tidak percaya kepada rakyat di Papua.

"Jujur, sampai saat ini pemerintah kita di Jakarta masih mencurigai Papua, banyak tidak percayanya pada Papua," kata Rektor Universitas Cenderawasih, Balthasar Kambuaya, kepada Rakyat Merdeka Online, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta Selatan, Kamis (29/7).

Karena itulah, menurut sang profesor, begitu banyak kebijakan pemerintah pusat yang lebih kental dengan nuansa politik daripada nuansa keinginan memperbaiki kesejahetraan ekonomi bagi rakyat Papua.

"Jadi permasalahan ini, hanya masalah hati. Sulit untuk pembangunan kalau hati kita sudah berbeda," ujarnya.

Balthasar menegaskan, jika permasalahan kemiskinan di Papua tidak bisa terselesaikan akan selalu ada benturan-benturan di antara masyarakat Papua sendiri dan akhirnya korban yang paling dirugikan adalah rakyat Paua sendiri.

"Kalau hati orang pusat bisa bersih dan menerima kami yang hitam mungkin itu tidak jadi masalah, rakyat Papua bisa hidup layak. Kalau terus begini, masyarakat Papua tidak akan mengakui negara ini mereka punya," jelasnya.[ald]